Kyai Kholil Bangkalan
Kyai Kholil Bangkalan Madura
KH
Muhammad Khalil bin Kiyai Haji Abdul Lathif bin Kiyai Hamim bin Kiyai
Abdul Karim bin Kiyai Muharram bin Kiyai Asrar Karamah bin Kiyai
Abdullah bin Sayid Sulaiman.
Sayid Sulaiman
adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif
Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang
memerintah di Cam (Campa). Ayahnya adalah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid
Jamaluddin al-Kubra.
KH.
Muhammad Kholil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrah atau 27
Januari 1820 Masehi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan
Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Beliau berasal
dari keluarga Ulama dan digembleng langsung oleh ayah Beliau. Setelah
menginjak dewasa beliau ta’lim diberbagai pondok pesantren. Sekitar
1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiyai Muhammad Khalil
belajar kepada Kiyai Muhammad Nur di Pondok-pesantren Langitan, Tuban,
Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok-pesantren Cangaan,
Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok-pesantren Keboncandi.
Selama belajar di pondok-pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiyai
Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kiyai
Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga
dengannya.
Sewaktu menjadi Santri KH Muhammad
Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik
(Tata Bahasa Arab). disamping itu juga beliau juga seorang hafiz
al-Quran . Beliau mampu membaca alqur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh
cara membaca al-Quran).
Pada 1276 Hijrah/1859
Masihi, KH Muhammad Khalil Belajar di Mekah. Di Mekah KH Muhammad Khalil
al-Maduri belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani (Guru Ulama Indonesia
dari Banten). Di antara gurunya di Mekah ialah Syeikh Utsman bin Hasan
ad-Dimyathi, Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad
al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani. Beberapa
sanad hadis yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan
Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa). KH.Muhammad
Kholil Sewaktu Belajar di Mekkah Seangkatan dengan KH.Hasym
Asy’ari,KH.Wahab Hasbullah dan KH.Muhammad Dahlan namun Ulama-ulama
Dahulu punya kebiasaan Memanggil Guru sesama Rekannya, dan KH.Muhammad
Kholil yang dituakan dan dimuliakan di antara mereka.
Sewaktu
berada di Mekah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, KH.Muhammad
Khalil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang
diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah
timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani,
Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang)
menyusun kaidah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab
yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf
Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan
bahasa Melayu.
Kiyai Muhammad Khalil cukup lama
belajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Mekah, maka sewaktu
pulang dari Mekah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqih,
thariqat ilmu-ilmu lainnya.
Untuk mengembangkan
pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiyai Muhammad Khalil
selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1
kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. KH. Muhammad Khalil
al-Maduri adalah seorang ulama yang bertanggung jawab terhadap
pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya.
Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana
terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.
Beliau
dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus persen memeluk agama Islam,
sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama
Kristian. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekah telah
berumur lanjut, tentunya Kiyai Muhammad Khalil tidak melibatkan diri
dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan
pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya. Kiyai Muhammad Khalil
sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda kerana dituduh melindungi
beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya.
beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat
pendidikan dari Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri.
KH.Ghozi
menambahkan, dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil, sapan KH Kholill
bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab
Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan
gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.
Hizib-hizib yang mereka
miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan
lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai
itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar.
Tak
ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan
mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah
menyerang, konsentrasi lawan buyar.
Saat
konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan.
”Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir
tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama
yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,” papar
Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Chasbullah ini.
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan.
Pernah
ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah,
Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju
dan sarung beliau basah kuyub,” cerita Kiai Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki
itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan
Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di
tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan
nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil
dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang
perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa
sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar kiai Ghozi yang kini
tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
di
antara sekian banyak murid KH Muhammad Khalil al-Maduri yang cukup
menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia
ialah KH Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang,
dan pengasas Nahdhatul Ulama / NU) Kiyai Haji Abdul Wahhab Hasbullah
(pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); Kiyai Haji Bisri
Syansuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar); Kiyai Haji Ma’shum
(pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda Kiyai Haji Ali
Ma’shum), Kiyai Haji Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang);
dan Kiyai Haji As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren
Asembagus, Situbondo).
DI MAKKAH AL-MUKARRAMAH
Dalam
buku Surat Kepada Anjing Hitam”, Saifur Rachman menulis: “Selama
dalam perjalanan ke Makkah, Kholil selalu dalam keadaan berpuasa dan
mendekatkan diri kepada Allah. Siang hari banyak digunakan membaca
Al-Qur’an dan shalawat, sedangkan pada malam hari digunakan melakukan
wirid dan taqarub kepada Allah. Hal itu dilakukannya terus menerus
sampai di Makkah. Setibanya di mekkah Kholil segera bergabung dengan
teman-temannya dari Jawa. Selama di Makkah Kholil mempelajari pelbagai
ilmu pengetahuan. Banyak para Syaikh yang Kholil datangi.
Selama
menempuh pendidikan di Makkah, kebiasaan hidup sederhana dan prihatin
tetap dijalankan seperti waktu dipesantren Jawa. Kholil sering makan
kulit semangka ketimbang makanan yang wajar pada umumnya. Sedangkan
minumannya dari air zamzam, begitu dilakukannya terus menerus selama
empat tahun di mekkah. Hal ini mengherankan teman-teman seangkatannya,
seperti Nawawi dari banten, Akhmad Khatib dari Minang Kabau dan Ahmad
Yasin dari Padang. Bahkan ketika bermaksud buang air besar, Kholil tidak
pernah melakukan di Tanah Haram, tetapi keluar ke tanah halal karena
menghormati Tanah Haram.
Didalam berguru,
Kholil mencatat pelajarannya menggunakan baju yang dipakainya sebagai
kertas tulis. Kemudian, setelah dipahami dan dihafal lalu dicuci,
kemudian dipakai lagi. Begitu seterusnya dilakukan selama belajar di
Mekkah. Oleh sebab itu pakaian Kholil semuanya berwarna putih. Tentang
biaya selama nyantri di Mekkah Kholil menulis pelbagai risalah dan kitab
kemudian dijual. Kholil banyak menulis kitab Alfiah dan menjualnya
seharga 200 real perkitab.
Terkadang
memanfaatkan keahliannya menulis khat (kaligrafi) untuk menghasilkan
uang. Semua uang hasil penulisan risalah dan kitab kemudian dihaturkan
kepada gurunya. Kholil sendiri memilih kehidupan sangat sederhana.
Kehidupan sederhana yang ditempuhnya selama nyantri di mekkah adalah
pengaruh kuat ajaran Imam Ghazali, salah seorang ulama yang dikaguminya.
Dalam
mengarungi lautan ilmu di Makkah, disamping mempelajari ilmu dhohir
(eksoterik), seperti tafsir, Hadits, Fikih dan ilmu nahwu, juga
mempelajari ilmu bathin (isoterik) ke pelbagai guru spiritual. Tercatat
guru spiritual Kholil adalah Syaikh Ahmad Khatib Sambas Ibnu Abdul
Ghofar yang bertempat tinggal di Jabal Qubais. Syaikh Ahmad Khatib
mengajarkan Thariqoh Qodariyyah wan Naqsyabandiyyah. Biasanya kedua
thariqoh ini terpisah dan berdiri sendiri. Namun setelah Syaikh Ahmad
Khatib, kedua thariqoh ini dipadukan
Melihat
kewenangan Kiai Kholil sebagai mursyid Thariqoh Qodariyyah wan
Naqsyabandiyyah menunjukkan beliau memiliki derajat yang tinggi di dalam
maqom spiritualnya. Menurut penuturan Kiai As’ad Syamsul Arifin, pada
saat Kiai Kholil berzikir di ruangan majlis dzikir, apabila lampu
dimatikan sering terlihat sinar biru yang sangat terang memenuhi ruangan
tersebut.รข
Sementara itu, ada empat nama yang
saya baca dalam tulisan tangan Syekh Kholil, nampaknya mereka ini adalah
guru-guru beliau sewaktu belajar di Makkah Al-Mukarramah, yaitu:
1.
Syekh Ali Al-Mishri: Nama ini saya dapatkan pada salah satu surat Syekh
Kholil kepada Kiai Muntaha ketika Kiai Muntaha belajar di Makkah.
2.
Syekh Umar As-Sami: Saya temukan pada tulisan Syekh Kholil sebagai
catatan pinggir kitab Al-Matan Asy-Syarif (ilmu nahwu). Di situ Beliau
menyitir banyak keterangan yang beliau terima dari Syekh Umar As-Sami.
3. Syekh Khalid Al-Azhari,
4. Syekh Al-Aththar
5.
dan Syekh Abun-Naja: Mereka bertiga juga sering disebut dalam beberapa
tulisan tangan Syekh Kholil sebagai orang yang memberikan
keterangan-keteragan dalam ilmu nahwu. Nama-nama itu tersebar di
berbagai kitab tulisan tangan Syekh Kholil. Saya melihat dan mempelajari
tulisan-tulisan itu dari kitab-kitab Syekh Kholil yang ada pada Kiai
Thoha Kholili. [*]
Syekh Ali Ar-Rahbini, guru terdekat Syekh Kholil
Syekh
Ali bin Muhammad Amin bin Athiyyah Ar-Rahbini. Beliau adalah salah satu
ulama Makkah. Saya pernah membaca biografi beliau dalam sebuah kitab
“Tarajim” yang saya pinjam dari Syekh Ruwaid bin Hasan Ar-Rahbini ketika
beliau bertandang ke Malang, namun sayang sekali saya tidak sempat
meng-copy kitab itu, sayapun lupa sebagian besar isinya. Kejadian itu
memang sudah cukup lama, yaitu sekitar tahun 1992 dimana pada saat itu
saya baru berusia 17 tahun.
Adapun putra beliau
yag bernama Syekh Muhammad bin Ali, maka Syekh Umar Abdul Jabbar, dalam
kitab “tarajim”nya, menulis bahwa beliau lahir pada tahun 1286 H (+
1871) dan wafat tahun 1351 H (+ 1934). Maka Syekh Muhammad bin Ali lebih
muda 36 tahun dari Syekh Kholil. Beliau masuk dalam jajaran ulama
Makkah abad ke-13, sezaman dengan Sayyid Abbas bin Abdul Aziziz
Al-Maliki (kakek Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas Al-Maliki). Menurut
Syekh Umar Abdul Jabbar, Syekh Muhammad bin Ali memiliki Majlis ta’lim
di Babul Umroh Masjidil Haram. Bisa jadi, Syekh Muhamad menggatikan
majlis ayah beliau, sebagaimana adat ulama Makkah apabila meneruskan
profesi orang tuanya. Syekh Ali dan Syekh Muhammad masyhur dengan
keahlian yang menonjol dalam bidang qira’at (riwayat bacaan Al-Qura’an).
Mereka hafal Al-Qur’an dengan tujuh qira’at (riwayat).
Adapun
Syekh Ali Ar-Rahbini, Di akhir hayat beliau tertimpa sakit hingga
mengalami kebutaan, sehingga beliaupun berhenti mengajar di Masjidil
Haram. Namun Syekh Kholil tidak berhenti belajar kepada Syekh Ali
setelah beliau buta, karena Syekh Kholil memohon izin untuk terus
belajar di rumah beliau dan beliaupun berkenan. Syekh Kholil sangat
menghormati dan meyakini Syekh Ali, sehingga ketika Syekh Ali meyuruh
Syekh Kholil pulang, Syekh Kholil mematuhi perintah itu walau sebenarnya
beliau masih merasa kurang ilmu dan masih ingin menambah ilmu. Berkat
kepatuhan itu Syekh Kholil diberkati oleh Allah SWT.
Pada
tahun 1997 saya bersilaturrahim kepada Syekh Muhammad Thayyib bin
Muhammad bin Ali Ar-Rahbini di Makkah, cucu Syekh Ali Ar-Rahbini, waktu
itu beliau telah berusia 95 tahun dan saya baru berusia 22 tahun.
Kebetulan, ibu saya adalah cucu Syekh Ali dari jalur Syekh Ali bin
Muhammad bin Ali Ar-Rahbini, maka saya pernah “buyut paman” pada Syekh
Muhammad Thayyib. Diantara riwayat yang saya ambil dari beliau adalah
bahwa Syekh Ali Ar-Rahbini memiliki karya tulis tentang Al-Qur’an, namun
sampai saat itu manuskripnya hilang entah kemana.
Mengenai
nisbat Ar-Rahbini, Rahbin adalah nama sebuah kampung di dekat kota
Samannud, Mesir. Syekh Ali memang keturunan Mesir. Beliau yang pertama
wafat di Makkah. Ayah beliau, yaitu Syekh Muhammad Amin wafat di
Istambul, Turki. Sedang kakek beliau, yaitu Syekh Athiyyah, dan beberapa
generasi sebelumnya tinggal di kampung Rahbin itu. Keluarga Ar-Rahbini
yang di Indonesia memegang silsilah hanya sampai Athiyyah. Menurut Syekh
Ruwaid bin Hasan bin Ali Ar-Rahbini, cucu beliau yang tinggal di
Jiddah, nasab Al-Rahbini bersambung pada Sayyidina Utsman bin Affan.
Setelah
Syekh Kholil pulang ke Indonesia, beliau tidak putus hubungan dengan
Syekh Ali. Setelah Syekh Ali meninggal, ternyata putra beliau, Syekh
Muhammad, juga menonjol kelimannya dan mengajar di Masjidil Haram. maka
keponakan Syekh Kholilpun, yaitu Kiai Muntaha yang kelak kemudian
menjadi menantu beliau, belajar pada Syekh Muhammad bin Ali Ar-Rahbini.
Hubungan
Syekh Kholil dengan keluarga Ar-Rahbini tidak berhenti sampai pada
Syekh Muhammad, melainkan berlangsung sampai pada Syekh Ali bin Muhammad
bin Ali Ar-Rahbini, karena cucu guru beliau itu akhirnya datang ke
Indonesia. Cerita kedatangan Syekh Ali cukup menarik sehingga layak
untuk dimuat sebagai salah satu cerita karomah Syekh Kholil.
Pada
suatu pagi setelah shalat shubuh, seperti biasa Syekh Kholil mengajar
santri di mushalla. Tiba-tiba Syekh Kholil menutup kitab dan berkata:
“Anak-anak, pengajian kali ini singkat saja, sekarang kalian langsung
membersihkan halaman dan ruang tamu, karena sebentar lagi ada tamu
agung, yaitu cucu dari guruku, Syekh Ali bin Muhammad bin Ali
Ar-Rahbini.
Setelah semua lingkungan pondok
bersih, maka datanglah Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini. Syekh
Kholil sudah tahu bakal kedatangan tamu jauh, padahal waktu itu belum
ada telpon.
Setelah Syekh Ali datang, maka
Syekh Kholil menciumi Syekh Ali mulai dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Begitu cinta dan hormatnya beliau terhadap Syekh Ali sebagai cucu
dari guru beliau. Kemudian Syekh Kholil menyuruh santri untuk mengambil
tiga gelas diatas nampan, gelas yang pertama diisi air putih, gelas
kedua diisi susu, gelas ketiga diisi kopi. Kemudian Syekh Kholil berkata
pada santri-santri: “Apabila Syekh Ali minum susu, insyaallah beliau
tidak lama di Indonesia. Apabila Syekh Ali minum air putih, insyaallah
beliau akan tinggal lama di Indonesia dan akan pulang ke Makkah. Dan
apabila Syekh Ali minum kopi, insyaallah beliau terus tinggal di
Indonesia.” Mendengar ucapan Syekh Kholil tersebut, para santri menunggu
saatnya Syekh Ali memilih diantara tiga gelas itu. Ternyata Syekh Ali
memilih dan meminum kopi, padahal kopi Madura (Indoesia) lain dengan
kopi Arab. Kontan saja para santri bersorak gembira. Syekh Ali hanya
tersenyum saja karena tidak mengerti apa yang terjadi, beliau pikir
sorak gembira itu adalah bagian dari adat menyambut tamu.
Syekh
Ali datang ke Indonesia pada tahun 1921, beberapa tahun sebelum Syekh
Kholil wafat. Waktu itu Syekh Ali masih berusia 18 tahun dan masih
lajang, namun sudah hafal Al-Qur’an dan perawakannya tinggi besar dengan
wajah putih berbulu lebat. Dengan ilmu dan perawakannya itu beliau
tidak nampak seperti anak muda, melainkan sudah berwibawa.
Kendatipun
Syekh Kholil sangat menghormati Syekh Ali, namun Syekh Ali juga tidak
kalah menghormati Syekh Kholil, bahkan Syekh Ali kemudian berguru pada
Syekh Kholil. Tidak sampai di situ, melainkan Syekh Ali menjadi sangat
ta’zhim dan fanatik terhadap Syekh Kholil. Beliaupun menikahkan salah
satu cucu beliau dengan seorang cucu Syekh Kholil. Ketika lahir anak
pertama pasangan sang Kiai cucu Syekh Kholil dan sang Nyai cucu Syekh
Ali, Syekh Ali memberi bayi itu Nama “Kholil”. Semula sang Kiai cucu
Syekh Kholil itu keberatan, karena di keluarga beliau sudah banyak yang
bernama “Kholil”. Menanggapi keberatan itu kemudian Syekh Ali marah dan
berkata: “Biarpun sudah ada seribu ‘Kholil’, anakmu tetap harus diberi
nama ‘Kholil’. Seribu ‘Kholil’ seribu barokah!” Akhirnya anak itupun
kemudian diberi nama “Kholil”.
Itu adalah
sebagian cerita antara Syekh Kholil dengan keluarga Ar-Rahbini. Adapun
Syekh Ali Ar-Rahbini sendiri kemudian tinggal di Gondanglegi Malang.
Beliau dikenal sebagai ulama yang hafal Al-Qur’an dan fasih, suaranya
yang lantang dan berwibawa membuat jamaah jum’at betah mendengar khutbah
beliau walaupun mereka tidak mengerti khutbah beliau yang berbahasa
Arab. Beliau juga dikenal wali, banyak cerita kezuhudan dan karomah
beliau yang tentu terlalu panjang untuk dimasukkan dalam bab ini.
Beliau
menikah dengan beberapa wanita Jawa dan Madura, dari lima orang istri
beliau mempunyai 24 putra-putri. Beberapa putri beliau dinikahkan dengan
Kiai-kiai Madura, yaitu Nyai Lathifah dengan Kiai Shonhaji Jazuli
(ulama besar Pamekasan); adiknya, yaitu Nyai Aminah dengan adik Kiai
Shonhaji, yaitu Kiai Mahalli; Nyai Sarah dengan Kiai Asim Luk-guluk
(ulama besar Sumenep); Nyai Qudsiyah dengan Kiai Abdul Aziz Ombhul
(ulama besar Sampang). Adapun dari putra-putra beliau ada dua orang yang
meneruskan perjuangan beliau, yaitu Kiai Fauzi di Gondanglegi, Malang
dan Kiai Khairuman yang mendirikan pondok pesantren di Pontianak, yaitu
Pesantren Darul Ulum yang merupakan pesantren terbesar dan terkenal di
Kalimantan Barat.
CARA BELAJAR SYEKH KHOLIL
Kesimpulannya, didalam menuntut ilmu, Syekh Kholil telah maksimal mengusahakan hal-hal berikut:
1.
Ikhlas karena Allah SWT. Beliau tidak peduli dengan pahitnya kehidupan
saat itu, karena yang beliau pentingkan adalah ilmu, dengan harapan
Allah ridha dengan ilmu yang beliau dapat. Beliau dapat membuktikan
keikhlasan itu ketika Allah SWT menguji beliau dengan hidup yang serba
kekurangan.
2. Akhlaq yang tinggi kepada Allah SWT. Kita bisa
lihat akhlaq beliau ketika beliau harus keluar dari tanah haram (Makkah)
untuk buang air besar. Beliau merasa tidak sopan buang hajat di tanah
suci. Ini menunjukkan betapa Syekh Kholil sangat tawadhu’ dan peka
terhadap Allah.
3. Cinta, hormat dan patuh kepada guru,
tentunya setelah memilih guru yang layak. Apapun beliau berikan kepada
guru, untuk membantu dan membuat guru ridha. Dihadapan guru, beliau siap
sedia untuk diperintah melebihi budak dihadapan tuannya. Jangankan
harta, nyawapun siap dipertaruhkan untuk guru.
4. Mencintai ilmu sehingga beliau rajin belajar.
Dengan
menggabung empat hal ini, Syekh Kholil berhasil mendapatkan ilmu yang
banyak dan barokah, dan semua itu kemudian mengantarkan beliau mendapat
derajat yang tinggi di sisi Allah, yaitu sebagai ulama da wali Allah.
Bagi yang ingin mendapatkan apa yang diperoleh Syekh Kholil, maka empat
hal itulah kuncinya.
Syaikhona Kholil Bangkalan (Kilas Sejarah Seputar Pendirian NU)
Ada
tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses
pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah
(Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil
(Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku "NU Liberal: Dari
Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam", melukiskan peran
ketiganya sebagai berikut Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim
sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya.
Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa
tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie
Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada
Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai
Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai
Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk
membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba
mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan
tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.
Keresahan Kiai Hasyim
Bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu
muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan
ide untuk mendirikan jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah
wal jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk
urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok
pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan
sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga
masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh
lainnya.
Pada awalnya, ide pembentukan
jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan
oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul
Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud
kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan
tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik
keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta forum diskusi
Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa
perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh
ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.
Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah.
Gelagat inilah yang nampaknya "dibaca" oleh Kiai Cholil Bangkalan yang
terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia
mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai
seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati
yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah
seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai
KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya
sendiri.
Tongkat “Musa”
“Saat ini
Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,”
titah Kiai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kiai,” jawab As’ad sambil
menerima tongkat itu.
“Setelah membeerikan
tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai
Cholil kepada As’ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Allah
berfirman: ”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah
Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul
(daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang
lain padanya’.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu
dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang
merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut,
Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah
tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa
cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan
kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”
Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kiai Cholil memberikan dua
keeping uang logam kepada As’ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang.
Setelah berpamitan, As’ad segera berangkat ke Jombang untuk menemui Kiai
Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim dipegangnya
erat-erat.
Meski sudah dibekali uang, namun
As’ad memilih berjalan kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam
pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di sakunya sebagai kenagn-kenangan.
Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu teramat berharga untuk
dibelanjakan.
S esampainya di Jombang, As’ad
segera ke kediaman Kiai Hasyim. Kedatangan As’ad disambut ramah oleh
Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad merupakan utusan khusus gurunya, Kiai
Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As’ad segera menyampaikan
maksud kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk
mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya menyerahkan
tongkat.
Kiai Hasyim menerima tongkat itu
dengan penuh perasaan. Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan
penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang
dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya
Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat
Thaha ayat 17-23.
Setelah mendengar ayat
tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap
isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab
beserta para kiai lainnya untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat itu
proses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah
mendapat lampu hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta
mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu
bermusyawarah dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi
Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Terlebih
lagi, gurunya (Kiai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah mengaji
kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kiai
Nawawi Noerhasan.
Untuk itu, Kiai Hasyim
meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah mendapat tugas
itu, Kiai Wahab segera berangkat ke Sidogiri untuk menemui Kiai Nawawie.
Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju kediaman Kiai Nawawie.
Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab langsung menyampaikan
maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama penuturan Kiai
Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kiai Nawawie tidak
serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk
berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu
supaya berhati-hati dalam masalah uang. “Saya setuju, asalkan tidak
pakai uang. Kalau butuh uang, para anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai
Nawawi.
Proses dari sejak Kiai Cholil
menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan
jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun waktu
berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun,
jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat “Musa”
yang diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh Kiai
Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud
“sesuatu” yang nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.
Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim
dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya
diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil
menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya
Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di
balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu.
Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan
isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan
niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi
sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya
orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.
Ya Qahhar dan Ya Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti
hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi,
tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki
arti yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha
Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun). Dikalangan
pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan amalan untuk
menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak
sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai
Hasyim untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai
Kiai Cholil meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang
diidamkan masih belum berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab
1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama
Nahdlatul Ulama (NU).
Setelah para ulama
sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta
Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya. Melalui proses istikharah,
Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Setelah
dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap Kiai Hasyim seraya
menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar ini sudah bagus.
Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri untuk meminta
petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan membawa sketsa gambar
lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh
Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat
gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat
petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya.
Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie
memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan
sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.”
Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat gambar
bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih
kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.
Bapak Spiritual
Selain memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendirian NU
yaitu sebgai penentu berdirinya, sebenarnya masih ada satu peran lagi,
peran penting lain yang telah dimainkan oleh Kiai Cholil Bangkalan.
Yaitu peran sebagai bapak spiritual bagi warga NU. Dalam tinjauan
Mujammil Qomar, Kiai Cholil layak disebut sebagai bapak spiritual NU
karena ulama asal Bangkalan ini sangat besar sekali andilnya dalam
menumbuhkan tradisi tarekat, konsep kewalian dan haul (peringatan
tahunan hari kematian wali atau ulama).
Dalam ketiga masalah itu, kalangan NU berkiblat kepada Kiai Cholil
Bangkalan karena ia dianggap berhasil dalam menggabungkan kecenderungan
fikih dan tarekat dlam dirinya dalam sebuah keseimbangan yang tidak
meremehkan kedudukan fikih. Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu
pula yang secara cemerlang berhasil ia padukan dalam mendidik
santri-santrinya. Selain membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu lahir
(eksoterik) yang sangat ketat –santrinya tak boleh boyong sebelum hafal
1000 bait nadzam Alfiah Ibn Malik, ia juga menggembleng para santrinya
dengan ilmu-ilmu batin (esoterik).
Tarekat dan Fiqh
Kiai
Kholil adalah salah satu Kiai yang belajar lebih daripada satu Madzhab
saja. Akan tetapi, di antara Madzhab-mazdhab yang ada, ia lebih
mendalami Madzhab Syafi’i di dalam Ilmu Fiqh.
Pada
masa kehidupan Kiai Kholil, yaitu akhir abad-19 dan awal abad-20, di
daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi perdebatan antara dua
golongan pada saat itu. Pada awal abad-20, seperti telah diungkapkan
sebelumnya, di daerah Jawa sedang terjadi penyebaran ajaran Tarekat
Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Muzhariyah
dan lain-lain.
Akan tetapi, tidaklah dapat
dipungkiri mengenai keterlibatan Kiai Khalil dalam tarekat, terbukti
bahwa Kiai Khalil dikenal pertama kali dikarenakan kelebihannya dalam
hal tarekat, dab juga memberikan dan mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada
para pejuang.
Di sisi lain, Kiai Kholil pun
diakui sebagai salah satu Kiai yang dapat menggabungkan tarekat dan
Fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu melihat dua hal tersebut
bertentangan seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah satu
ulama yang notabene seangkatan dengan Kiai Kholil.
Memang,
Kiai Kholil hidup pada masa penyebaran tarekat begitu gencar-gencarnya,
sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan memilki
ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Kiai Khalil. Namun demikian,
perbedaan antara Kiai Kholil dengan kebanyakan Kiai yang lainnya; bahwa
Kiai Kholil tidak sampai mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai
perlakuan syirik dan bid’ah bagi penganut tarekat. Kiai Kholil justru
meletakkan dan menggabungkan antara ke duanya (tarekat dan Fiqh).
Dalam
penggabungan dua hal ini, Kiai Khalil menundukkan tarekat di bawah
Fiqh, sehingga ajaran-ajaran tarekat mempunyai batasan-batasan
tersendiri yaitu fiqh. Selain itu, ajaran tarekat juga tidak menjadi
ajaran yang tanpa ada batasannya. Namun, yang cukup disayangkan adalah,
tidak banyaknya referensi yang menjelaskan tentang cara atau pun
pola-pola dalam penggabungan tarekat dan fiqh oleh Kiai Khalil tersebut.
Beliau adalah pengamal Tarekat Naqsyabadi, Qadiriah dan Syadzaliyah.
Peninggalan
Dalam
bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan
tentang karya Kiai Kholil; akan tetapi Kiai Kholil meninggalkan banyak
sejarah dan sesuatu yang tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada
pun peninggalan Kiai Kholil diantaranya:
Pertama,
Kiai Khalil turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren sebagai
pendidikan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan
Belanda, hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari
golongan priyayi saja; di luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah.
Dari sanalah pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan
terhitung sangat banyak santri Kiai Khalil yang setelah lulus,
mendirikan pesantren. Seperti Kiai Hasyim (Pendiri Pesantren
Tebuireng), Kiai Wahab Hasbullah (Pendiri Pesantren Tambakberas), Kiai
Ali Ma’shum (Pendiri Pesantren Lasem Rembang), dan Kiai Bisri Musthafa
(Pendiri Pesantren Rembang). Dari murid-murid Kiai Khalil, banyak
murid-murid yang dikemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu
seterusnya sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.
Kedua,
selain Pesantren yang Kiai Khalil tinggal di Madura khususnya, ia juga
meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik,
sehingga akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin umat.
K.H.
Muhammad Khalil, adalah satu fenomena tersendiri. Dia adalah salah
seorang tokoh pengembang pesantren di Nusantara. Sebagian besar pengasuh
pesantren, memiliki sanad (sambungan) dengan para murid Kiai Khalil,
yang tentu saja memiliki kesinambungan dengan Kiai Khalil. Beliau wafat
pada 1825 (29 Ramadhan 1343 H) dalam usia yang sangat lanjut, 108 tahun.
Karomah Syekh Kholil Bangkalan
Istilah
karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syaikh
Thohir bin Sholeh Al-Jazairi mengartikan kata karomah adalah perkara
luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan
pengakuan seorang Nabi. [Thohir bin Sholeh Al-Jazairi, Jawahirul
Kalamiyah, terjemahan Jakfar Amir, Penerbit Raja Murah Pekalongan, hal.
40].
KISAH PENCURI TIMUN TIDAK BISA DUDUK
Diantara
karomah KH. Kholil adalah pada suatu hari petani timun di daerah
Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu
kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus menerus. Akhirnya
petani timun itu tidak sabar lagi, setelah bermusuyawarah, maka
diputuskan untuk sowan ke Kiai Kholil. Sesampainya di rumah Kiai Kholil,
sebagaimana biasanya Kiai sedang mengajarkan kitab nahwu Kitab tersebut
bernama Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.
“Assalamu’alaikum, Kiai,” ucap salam para petani serentak.
“Wa’alaikum salam wr.wb., “ Jawab Kiai Kholil.
Melihat banyaknya petani yang datang. Kiai bertanya :
“Sampean ada keperluan, ya?”
“Benar,
Kiai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami
mohon kepada Kiai penangkalnya.” Kata petani dengan nada memohon penuh
harap.
Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kiai kebetulan
sampai pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”.
Lalu serta merta Kiai Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf
“qoma zaidun”.
“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai penangkal.” Seru Kiai dengan tegas dan mantap.
“Sudah, pak Kiai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda Tanya.
“Ya
sudah.” Jawab Kiai Kholil menandaskan. Mereka puas mendapatkan
penangkal dari Kiai Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka
masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Kiai Kholil.
Keesokan
harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah
masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di
hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus menerus tidak bisa
duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela
diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin
melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan,
namun hasilnya sia-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat
pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.
Satu-satunya
jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani
untuk sowan ke Kiai Kholil lagi. Tiba di kediaman Kiai Kholil, utusan
itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang
sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri
itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang
selama ini menjadi sasaran empuk pencurian. Maka sejak saat itu, petani
timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima
kasih kepada Kiai kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu
timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para
santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh
pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.
Membetulkan Arah Kiblat
Kiai
Muntaha, mantu Kiai Kholil, yang terkenal alim itu membangun masjid di
pesantrennya, dan pembangunan masjid tersebut hampir rampung. Sebagai
seorang alim, Kiai Muntaha membangun dengan rencana yang matang sesuai
dengan tuntunan syariat. Begitu juga dengan tata letak dan posisi masjid
yang tepat mengarah ke kiblat. Menurut Kiai Muntaha, masjid yang hampir
rampung itu sudah sedemikian tepat, sehingga tinggal menunggu
peresmiannya saja sebagai masjid kebanggaan pesantren.
Suatu
hari, masjid yang hampir rampung itu dilihat oleh Kiai Kholil, menurut
pandangan Kiai Kholil, ternyata masjid itu terdapat kesalahan dalam
posisi kiblat.
"Muntaha, arah kiblat masjidmu ini masih belum
tepat, ubahlah!" ucap Kiai Kholil mengingatkan mantunya yang alim itu.
Sebagai seorang alim, sebagai kiai alim, Kiai Muntaha tidak percaya
begitu saja. Beberapa argumen diajukan kepada Kiai Kholil untuk
memperkuat pendiriannya yang selama ini sudah dianggapnya benar, melihat
mantunya tidak ada-ada tanda-tanda menerima nasehatnya, Kiai Kholil
tersenyum sambil berjalan ke arah masjid. Sementara Kiai Muntaha
mengikuti di belakangnya. Sesampainya di ruang pengimaman, Kiai Kholil
mengambil kayu kecil kemudian melubangi dinding tembok arah kiblat.
"Muntaha,
coba kau lihat lubang ini, bagaimana posisi arah kiblatmu?" panggil
Kiai Kholil sambil memperhatikan mantunya bergegas mendekatkan matanya
ke lubang itu, betapa kagetnya Kiai Muntaha setelah melihat dinding itu.
Tak diduganya, lubang yang kecil itu ternyata Ka'bah yang berada di
Makkah dapat dilihat dengan jelas dihadapannya. Kiai Muntaha tidak
percaya, digosok-gosokan matanya dan dilihatnya sekali lagi lubang itu,
dan ternyata Ka'bah yang di Makkah malah semakin jelas. Maka, sadarlah
Kiai Muntaha, ternyata arah kiblat Masjid yang diyakininya benar selama
ini terdapat kesalahan. Arah kiblat masjid yang dibangunnya, ternyata
terlalu miring ke kanan. Kiai Kholil benar, sejak saat itu, Kiai Muntaha
mau mengubah arah kiblat masjidnya sesuai dengan arah yang dilihat
dalam lubang tadi.
Mengetahui Pikiran Kiai Noer
Ketika
Kholil muda menyantri pada Kiai Noer di pesantren Langitan Tuban.
Kholil seperti biasanya ikut jama'ah sholat yang memang keharusan para
santri. Di tengah kekhusukan jama'ah sholat, tiba-tiba kholil tertawa
terbahak-bahak. Karuan saja, hal ini membuat santri lain marah. Demikian
juga dengan Kiai Noer. Dengan kening berkerut, kiai bertanya:
"Kholil,
kenapa waktu sholat tadi, kamu tertawa terbahak-bahak. Lupakah kamu itu
meengganggu kekhusukan sholat dan sholat kamu tidak syah?!" Kholil
menjawab dengan tenang, "Maaf, begini Kiai, waktu sholat tadi saya
sedang melihat Kiai sedang mengaduk-aduk nasi di bakul, karena itu saya
tertawa. Sholat kok mengaduk-aduk nasi. Salahkah yang saya lihat itu,
kiai?" Jawab Kholil muda dengan mantap dan sopan.
Kiai
Muhammad Noer terkejut. Kholil benar, Santri baru itu dapat membaca apa
yang terlintas di benaknya, Kiai Muhammad Noer duduk dengan tenang
sambil menerawang lurus ke depan, serta merta berbicara kepada santri
kholil: "Kau benar anakku, saat mengimami sholat tadi perut saya memang
sedang lapar. Yang terbayang dalam pikiran saya saat itu, memang hanya
nasi, anakku," ucap Kiai Muhammad Noer secara jujur. Sejak kejadian itu
kelebihan Kholil akhirnya menyebar. Bukan hanya terbatas di pesantren
Langitan, tetapi juga sampai ke pesantren lain di sekitarnya. Karena
itu, setiap kiai yang akan ditimba ilmunya oleh Kholil muda, maka para
kiai itu selalu mengistimewakannya.
Didatangi Macan
Pada
suatu hari di bulan syawal, Kiai Kholil tiba-tiba memanggil
santri-santrinya. "Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat
penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga,
sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok ini" kata Kiai Kholil agak
serius.
Mendengar tutur guru yang sangat
dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu, sebelah
timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan
angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang
ditunggu-tunggu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke
pesantren seorang pemuda kurus tidak seberapa tinggi bertubuh kuning
langsat sambil menenteng kopor seng. Sesampainya di depan pintu rumah
Kiai Kholil, lalu mengucap salam "Assalamu'alauikum" ucapnya agak pelan
dan sangat sopan.
Mendengar salam itu, bukannya
jawaban salam yang diterima, tetapi kiai malah berteriak memanggil
santrinya, hei... santri semua, ada macan...macan...ayo kita kepung.
Jangan sampai masuk pondok" seru Kiai Kholil bak seorang komandan di
medan perang.
Mendengar teriakan Kiai, kontan saja semua
santri berhamburan, datang sambil membawa apa saja yang ada, pedang,
celurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi
yang mulai nampak pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu
langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke Kiai Kholil begitu
menggelora, maka keesokan harinya pemuda itu mencoba datang lagi. Begitu
memasuki pintu gerbang pesantren langsung disong-song dengan usiran
ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya, baru pada malam ketiga,
pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada
malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang
mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.
Secara
tidak diduga, tengah malam, Kiai Kholil datang dan membangunkannya,
karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Kiai
Kholil, setelah berbasa-basi dengan seribu alasan, baru pemuda itu lega
setelah resmi diterima sebagai santri Kiai Kholil. Pemuda itu bernama
Abdul Wahab Hasbullah. Seorang kiai yang sangat alim, jagoan berdebat
dan pembaharu pemikiran. Kehadiran KH. Wahab Hasbullah dimana-mana
selalu berwibawa dan disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor
macan, seperti yang disyaratkan Kiai Kholil.
Ketinggalan Kapal Laut
Kejadian
ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu satu-satunya angkutan
yang menuju Makkah. Semua penumpang calon haji naik ke kapal dan
bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya :
"Pak tolong, saya belikan anggur, saya ingin sekali" ucap istrinya dengan memelas.
"Baik,
kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari
anggur". Jawab suaminya dengan bergegas keluar dari kapal.
Setelah
suaminya keluar mencari anggur di sekitar anjungan kapal, nampaknya
tidak ditemuai pedagang anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke
pasar. Untuk memenuhi permintaan istrinya tercinta. Dan, meski agak
lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga, betapa gembiranya sang suami
mendapatkan anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke
kapal laut untuk menemui istrinya. Namun betapa terkejutnya sesampai ke
anjungan kapal. Pandangannya menerawang ke arah kapal yang akan
ditumpangi. Semakin lama kapal tersebut semakin menjauh. Sedih sekali
melihat kenyataan ini. Ia duduk termenung tidak tahu apa yang mesti
diperbuat.
Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada
seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasehat:
"Datanglah kamu kepada Kiai Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang
menimpa dirimu!" ucapnya dengan tenang.
"Kiai Kholil?" pikirnya.
"Siapa
dia?, Apa ia mesti harus kesana, bisakah dia menolong ketertinggalan
saya dari kapal?" begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
"Segeralah
ke Kiai Kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu
alami, Insyaallah." Lanjut orang itu menutup pembicaraan. Tanpa pikir
panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan.
Setibanya di kediaman Kiai Kholil, langsung disambut dan ditanya:
"Ada keperluan apa?"
Lalu,
sang suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal
hingga datang ke Kiai Kholil. Tiba-tiba Kiai berkata :
"Lho...ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan, sana ... pergi".
Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa.
Sesampainya
di pelabuhan, dia bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang
menyuruh ke Kiai Kholil. Orang tersebut bertanya: Bagaimana? Sudah
ketemu Kiai Kholil?
"Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan." Katanya dengan nada putus asa.
"Kembali
lagi, kembali lagi temui Kiai Kholil!" ucap orang yang menasehati
dengan tegas tanpa ragu. Maka sang suami yang malang itu pun kembali
lagi ke Kiai Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru
setelah ketiga kalinya, Kiai Kholil berucap, "Baik kalau begitu, karena
sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan".
"Terimakasih Kiai" kata sang suami melihat secercah harapan.
"Tapi ada syaratnya" ucap Kiai Kholil.
"Saya akan penuhi semua syaratnya." Jawab orang itu dengan bersungguh-sungguh.
Lalu
Kiai berpesan : "Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan
jangan sampeyan ceritakan pada orang lain, kecuali saya sudah meninggal,
apakah sampeyan sanggup?" pesan dan tanya Kiai seraya menatap tajam.
"Sanggup Kiai, "jawabnya spontan.
"Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu. Pejamkan matamu rapat-rapat" kata Kiai Kholil.
Lalu,
sang suami melaksanakan perintah Kiai dengan patuh, setelah beberapa
menit berlalu dibukanya matanya dengan pelan-pelan. Betapa terkejutnya
ia melihat apa yang dihadapannya, ia sedang berada di atas kapal laut
yang sedang berjalan. Takjub, heran bercampur jadi satu, seakan tak
mempercayai apa yang sedang dilihatnya. Digosok-gosokkan matanya,
dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang
berada di atas kapal. Segara ia ditemui isterinya di salah satu ruang
kapal.
"Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali"
dengan senyuman penuh arti seakan tidak terjadi apa-apa. Dan seolah-olah
datang dari arah bawah kapal. Padahal, sebenarnya dia baru saja
mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami,
sekali dalam hidupnya. Terbayang wajah Kiai Kholil. Dia baru menyadari
bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan
dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa
Santri Mimpi Dengan Wanita
Pada
suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa
gundah. Dalam benaknya tentu pagi itu ia tidak bisa sholat subuh
berjamaah. Ketidakikutsertaan Bahar sholat subuh berjamaah bukan karena
malas. Tetapi disebabkan halangan junub, semalaman Bahar bermimpi tidur
dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar sebab wanita itu
adalah istri Kiai Kholil , istri gurunya.
Menjelang subuh,
terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya
berucap: "santri kurang ajar..., santri kurang ajar..."
Para
santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan
tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu. Subuh
itu Bahar memang tidak ikut shalat berjamaah, tetapi bersembunyi di
belakang pintu masjid.
Seusai sholat subuh
berjamaah Kiai Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya
bertanya: Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?" ucap Kiai Kholil nada
menyelidik.
Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan
mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan kiri,
mencari tahu siapa yang tidak hadir, ternyata yang tidak hadir waktu itu
hanyalah Bahar, kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan
dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai
Kholil menatap tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata:
"Bahar,
karena kamu tidak hadir sholat subuh berjamaah maka kamu harus dihukum.
Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini,"
perintah Kiai Kholil (Petok adalah sejenis pisau kecil dipakai untuk
menyabit rumput) . Setelah menerima perintah itu, segera Bahar
melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua
rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu
sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali.
Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik.
"Alhamdulillah, sudah selesai Kiai," ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati.
"Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis," perintah Kiai kepada Bahar.
Sekali
lagi santri Bahar dengan patuh dan gembira menerima hukuman dari Kiai
Kholil. Setelah Bahar menerima hukuman yang kedua, santri Bahar lalu
disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan itu. Setelah
itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap:
"Hei
santri, semua ilmuku sudah dicuri orang ini," ucap Kiai Kholil sambil
menunjuk ke arah Bahar dan Kiai Kholil pun memintanya untuk pulang
kampung halamannya.
Memang benar, tak lama setelah itu, santri
yang mendapat isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang
alim, yang memimpin sebuah pondok besar di Jawa Timur. Kiai yang
beruntung itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan
santri yang diasuhnya di pondok pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa
Timur.
Kiai Kholil Masuk Penjara
Beberapa
pelarian pejuang kemerdekaan dari Jawa bersembunyi di pesantren Kiai
Kholil. Kompeni Belanda, rupanya mencium kabar itu. Tentara Belanda
berupaya keras untuk menangkap pejuang kemerdekaan yang bersembunyi itu.
Rencana penangkapan diupayakan secepat mungkin. Setelah yakin
bersembunyi di pesantren, tentara Belanda memasuki pesantren Kiai
Kholil. Seluruh pojok pesantren digrebek. Ternyata tidak menemukan
apa-apa. Hal itu membuat kompeni marah besar, karena kejengkelannya
akhirnya mereka membawa pimpinan pesantren, yaitu Kiai Kholil untuk
ditahan. Dengan siasat ini, mereka berharap dengan ditahannya Kiai
Kholil, para pejuang segera menyerahkan diri.
Ketika
Kiai Kholil dimasukkan ke dalam tahanan, maka beberapa peristiwa ganjil
mulai muncul. Hal ini membuat susah penjajah Belanda. Mula-mula ketika
Kiai Kholil masuk ke dalam tahanan, semua pintu tahanan tidak bisa
ditutup. Dengan demikian, pintu tahanan dalam keadaan terbuka
terus-menerus. Kompeni Belanda harus berjaga siang dan malam secara
terus-menerus. Sebab, jika tidak maka tahanan bisa melarikan diri. Pada
hari berikutnya, sejak Kiai Kholil ditahan, ribuan orang dari Madura dan
Jawa berdatangan untuk menjenguk dan mengirim makanan ke Kiai Kholil.
Kejadian ini membuat kompeni merasa kewalahan mengatur orang sebanyak
itu. Silih berganti setiap hari terus-menerus. Akhirnya, kompeni membuat
larangan berkunjung ke Kiai Kholil. Pelarangan itu ternyata tidak
menyelesaikan masalah. Masyarakat justru datang setiap harinya semakin
banyak.
Para pengunjung yang bermaksud
berkunjung ke Kiai Kholil bergerombol di sekitar rumah tahanan. Bahkan
banyak yang minta ditahan bersama Kiai Kholil. Sikap nekad para
pengunjung Kiai Kholil ini jelas membuat Belanda makin kewalahan.
Kompeni merasa khawatir, kalau dibiarkan berlarut-larut suasana akan
semakin parah. Akhirnya, daripada pusing memikirkan hal yang sulit
dimengerti oleh akal itu, kompeni Belanda melepaskan Kiai Kholil begitu
saja.
Setelah kompeni mengeluarkan Kiai Kholil
dari penjara, baru semua kegiatan berjalan sebagaimana biasanya.
Demikian juga dengan pintu penjara sudah bisa ditutup kembali serta para
pengunjung yang berjubel disekitar penjara kembali pulang kerumahnya
masing-masing.
Residen Belanda
Suatu
hari residen Belanda yang ditempatkan di Bangkalan mendapat suatu surat
yang cukup mengejutkan dari pemerintah kolonial Belanda di Jakarta.
Surat tersebut berisi tentang pemberhentian dirinya sebagai residen di
Bangkalan. Padahal, jabatan itu masih diinginkan dalam beberapa saat.
Residen ini sangat berbeda dengan residen Belanda lainnya. Hati nurani
residen ini tidak pernah menyetujui adanya penjajahan oleh negaranya.
Untuk mempertahankan posisinya, residen Belanda yang bersimpati kepada
Indonesia ini mau berkorban apa saja asalkan tetap memangku jabatan di
Bangkalan. Kebetulan sang residen mendengar kabar bahwa di Bangkalan ada
orang yang pandai dan sakti mandraguna. Tanpa pikir panjang lagi, sang
residen segera pergi menemui orang yang diharapkan kiranya dapat
membantu mewujudkan keinginannya itu.
Maka,
berangkatlah sang residen itu ke Kiai Kholil dengan ditemani beberapa
koleganya. Sesampainya di kediaman Kiai Kholil, sang residen Belanda
langsung menyampaikan hajatnya itu. Kiai Kholil tahu siapa yang
dihadapinya itu, lalu dijawab dengan santai seraya berucap:
"Tuan
selamat....selamat, selamat," ucapnya dengan senyum yang khas, Residen
Belanda merasa puas dengan jawaban Kiai Kholil dan setelah itu
berpamitan pulang.
Selang beberapa hari setelah kejadian itu,
sang residen menerima surat dari pemerintah Belanda yang isinya
pencabutan kembali surat keputusan pemberhentian atas dirinya. Betapa
senangnya menerima surat itu. Dengan demikian, dirinya masih tetap
memangku jabatan di daerah Bangkalan.
Sejak
peristiwa itu, Kiai Kholil diberi kebebasan melewati seluruh daerah
Bangkalan. Bahkan Kiai Kholil bisa menaiki dokar seenaknya melewati
daerah terlarang di karesidenan Bangkalan tanpa ada yang merintanginya.
Baik residen maupun aparat Belanda semua menaruh hormat kepada Kiai
Kholil. Seorang Kiai. Yang dianggap memiliki kesaktian yang luas biasa.
Santri Pencuri Pepaya
Pada
suatu hari, seorang santri berjalan-jalan di sekitar pondok pesantren
kedemangan. Kebetulan di dalam pesantren terdapat pohon pepaya yang
buahnya sudah matang-matang kepunyaan kiai. Entah karena lapar atau
pepaya sedemikian merangsang seleranya, santri itu nekad bermaksud
mencuri pepaya tersebut. Setelah menengok ke kanan dan ke kiri, merasa
dirinya aman maka dipanjatlah pohoh pepaya yang paling banyak buahnya.
Kemudian dipetiknya satu persatu buah pepaya yang matang-matang itu.
Setelah cukup banyak santri itu kemudian turun secara perlahan-lahan.
Baru
saja kakinya menginjak tanah, ternyata sudah diketahui oleh beberapa
santri, tak ayal lagi santri yang mencuri pepaya itu dilaporkan kepada
Kiai Kholil. Kiai marah besar kepada santri itu. Setelah itu disuruhnya
dia memakan pepaya itu sampai habis, dan akhirnya diusir dari pondok
pesantren. Tak lama setelah kejadian itu , santri yang diusir karena
mencuri pepaya itu ternyata menjadi Kiai besar yang alim. Kealiman dan
ketenaran kiai tersebut sampai kepada pesantren kedemangan. Mendengar
berita menarik itu, beberapa santri ingin mengikuti jejaknya. Pada suatu
hari, beberapa santri mencoba mencuri pepaya di pesantren. Dengan
harapan agar dimarahi kiai. Begitu turun dari pohon pepaya. Kontan saja
petugas santri memergokinya. Maka peristiwa itu dilaporkan kepada Kiai
Kholil. Setelah melihat beberapa saat kepada santri yang mencuri pepaya
itu, seraya Kiai mengucap :
"Ya sudah, biarlah" kata Kiai Kholil dengan nada datar tanpa ada marah tanpa ada pengusiran.
"Wah,
celaka saya tidak bisa menjadi kiai," desah santri pencuri pepaya
sambil menangis menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan
mengulanginya.
Orang Arab Dan Macan Tutul
Suatu
hari menjelang sholat maghrib, seperti biasanya, Kiai Kholil mengimami
jamaah sholat berjamaah bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan
Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba beliau kedatangan tamu orang
berbangsa Arab, orang Madura menyebutnya Habib.
Seusai
melaksanakan sholat Kiai Kholil menemui tamu-tamunya termasuk orang arab
yang baru datang yang mengetahui kefasihan bahasa Arab. Habib tadi
menghampiri Kiai Kholil sambil berucap :
" Kiai . . . ,bacaan Al Fatihah (antum) kurang fasih", tegur sang habib.
"O . . . begitu", jawab Kiai Kholil tenang.
Setelah
berbasa-basi, beberapa saat, habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk
melaksakan sholat maghrib. "Tempat wudlu ada disebelah masjid itu.
Habib, Silahkan ambil wudlu disana", ucap Kiai sambil menunjukan arah
tempat wudlu. Baru saja selesai berwudlu, tiba-tiba habib dikejutkan
dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan Bahasa
Arabnya yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu.
Meskipun habib mengucapkan bahasa arab sangat fasih untuk mengusir macan
tutul , namun macan itu tidak pergi juga.
Mendengar
ribut-ribut disekitar tempat wudlu, Kiai Kholil datang menghampiri.
Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai Kholil
mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang
macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya
kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh.
Dengan
kejadian ini, habib paham bahwa sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi
pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara
fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam
ungkapan itu.
Tongkat Kiai Kholil dan Sumber Mata Air
Pada
suatu hari. Kiai Kholil berjalan kearah selatan Bangkalan. Beberapa
santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di
desa Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya.
Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil
menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari arah lubang bekas tancapan Kiai
Kholil, memancar sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin
besar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai
untuk minum dan mandi. Lebih dari itu, sumber mata airnya dapat
menyembuhkan berbagai macam penyakit. Kolam yang bersejarah itu, sampai
sekarang masih ada.
Howang-Howing Jadi Kaya
Suatu
hari, seorang Tionghoa bernama Koh Bun Fat sowan ke Kiai Kholil. Dia
bermaksud untuk meminta pertolongan kepada Kiai Kholil agar bisa
terkabul hajatnya.
"Kiai, saya minta didoakan agar cepat kaya. Saya sudah bosan hidup miskin", kata Koh Bun Fat dengan penuh harap.
Melihat
permintaan Koh Bun Fat itu, kiai lantas memberi isyarat menyuruh
mendekat. Setelah Koh Bun Fat dihadapan Kiai Kholil, tiba-tiba Kiai
Kholil menarik tangan Koh Bun Fat dan memegangnya erat-erat seraya
berucap :
"Saafu lisanatan. Howang-howang, hoing-hoing, Pak
Wang, Howang Noang tur cetur, salang kacetur, sugih..... sugih.....
sugih.....", suara Kiai Kholil dalam bahasa yang tidak dimengerti.
Setelah mendapat doa dari Kiai Kholil itu, Koh Bun Fat benar-benar berubah kehidupannya, dari orang miskin menjadi kaya.
Obat Aneh
Di
daerah Bangkalan banyak terdapat binatang- binatang menyengat yang suka
berkeliaran, termasuk kalajengking yang sangat ganas. Binatang ini akan
bertambah banyak bilamana musim hujan tiba, apalagi di malam hari. Pada
suatu malam, salah seorang warga Bangkalan disengat kalajengking. Bisa
kalajengking membuat bengkak bagian- bagian tubuhnya. Beberapa
pengobatan telah dilakukan namun hasilnya sia-sia. Ia hampir putus asa,
sampai pada akhirnya, ada seseorang yang menyarankan agar pergi menemui
Kiai Kholil.
Akhirnya diputuskan untuk menemui Kiai Kholil.
"Kiai Kholil, saya disengat kala jengking. Tolong obati saya", ujarnya
sambil memelas.
"Kesini!" kata Kiai Kholil.
Lalu
dilihatnya bekas sengatan yang telah membengkak itu kemudian dipegangnya
seraya berucap dengan dalam bahasa Madura : "Palak-Pokeh,....
palak-pokeh,....beres, beres", ucap Kiai Kholil sambil menepuk-nepuk
bekas sengatan kalajengking. Maka seketika itu, orang itu sembuh, dan
melihat hasil pengobatan dengan kesan lucu itu, orang yang menyaksikan
di sekitarnya tidak dapat menahan tawanya. Mereka tertawa
terpingkal-pingkal sambil meninggalkan ruangan itu (sumber informasi :
KH. Amin Imron, cucu Kiai Kholil Bangkalan).
Rumah Miring
Pada
suatu hari, Kiai Kholil mendapat undangan di pelosok Bangkalan . Hari
jadi yang ditentukan pun tiba. Para undangan yang berasal dari berbagai
daerah berdatangan. Semua tamu ditempatkan di ruang tamu yang cukup
besar.
Walaupun para tamu sudah datang semua, acara nampaknya
belum ada tanda-tanda dimulai. Menit demi menit berlalu beberapa orang
tampaknya gelisah. Kenapa acara kok belum dimulai. Padahal, menurut
jadwal mestinya sudah dimulai. Tuan rumah tampak mondar-mandir, gelisah.
Sesekali melihat ke jalan sesekali menunduk. Tampaknya menunggu
kehadiran seseorang.
Menunggu acara belum dimulai si fulan tidak sabar lagi. Fulan yang dikenal sebagai jagoan di daerah itu, berdiri lalu berkata :
"Siapa sih yang ditunggu-tunggu kok belum dimulai? Kata si jagoan sambil membentak.
Bersamaan dengan itu datang sebuah dokar, siapa lagi kalau bukan Kiai Kholil yang ditunggu-tunggu.
"Assalamu'alaikum", ucap Kiai Kholil sambil menginjakkan kakinya ke lantai tangga paling bawah rumah besar itu.
Bersamaan
dengan injakan kaki Kiai Kholil, gemparlah semua undangan yang hadir.
Serta-merta rumah menjadi miring. Para undangan tercekam tidak berani
menatap Kiai Kholil. Si fulan yang terkenal jagoan itu ketakutan,
nyalinya menjadi kecil melihat kejadian yang selama hidup baru dialami
saat itu.
Setelah beberapa saat kejadian itu berlangsung kiai
mengangkat kakinya. Seketika itu, rumah yang miring menjadi tegak
seperti sedia kala. Maka berhamburanlah para undangan yang menyambut dan
menyalami Kiai Kholil.
Akhirnya fulan yang jagoan itu menjadi
sadar, bahwa dirinya kalah. Dirinya terlalu sombong sampai begitu
meremehkan seorang ulama seperti Kiai Kholil. Fulan lalu menyongsong
Kiai Kholil dan meminta maaf. Kiai Kholil memaafkan, bahkan mendoakan.
Do'a Kiai Kholil terkabul, Fulan yang dulu seorang jagoan yang ditakuti
di daerah itu, akhirnya menjadi seorang yang alim. Bahkan, kini si fulan
menjadi panutan masyarakat daerah itu.
Satu Macam Doa untuk Tiga Masalah
Suatu hari Kyai Kholil kedatangan tiga tamu yang menghadap secara bersamaan. Sang kyai bertanya kepada tamu yang pertama:
"Sampeyan ada keperluan apa?"
"Saya pedagang, Kyai. Tetapi hasil tidak didapat, malah rugi terus-menerus," ucap tamu pertama.
Beberapa saat Kyai Kholil menjawab, "Jika kamu ingin berhasil dalam berdagang, perbanyak baca istighfar," pesan kyai mantap.
Kemudian kyai bertanya kepada tamu kedua:
"Sampeyan ada keperluan apa?"
"Saya sudah berkeluarga selama 18 tahun, tapi sampai saat ini masih belum diberi keturunan," kata tamu kedua.
Setelah
memandang kepada tamunya itu, Kyai Kholil menjawab, "Jika kamu ingin
punya keturunan, perbanyak baca istighfar," tandas kyai.
Kini, tiba giliran pada tamu yang ketiga. Kyai juga bertanya, "Sampeyan ada keperluan apa?"
"Saya
usaha tani, Kyai. Namun, makin hari hutang saya makin banyak, sehingga
tak mampu membayarnya, " ucap tamu yang ketiga, dengan raut muka serius.
"Jika kamu ingin berhasil dan mampu melunasi hutangmu, perbanyak baca istighfar," pesan kyai kepada tamu yang terakhir.
Berapa
murid Kyai Kholil yang melihat peristiwa itu merasa heran. Masalah yang
berbeda, tapi dengan jawaban yang sama, resep yang sama, yaitu menyuruh
memperbanyak membaca istighfar.
Kyai Kholil mengetahui
keheranan para santri. Setelah tamunya pulang, maka dipanggillah para
santri yang penuh tanda tanya itu. Lalu, Kyai Kholil membacakan
al-Qur’an Surat Nuh ayat 10-12 yang artinya: “Mohonlah ampun kepada
Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan
hujan kepadamu dengan lebat dan membanyakkan harta dan anak-anakmu. dan
Mengadakan untukmu kebun-kebun dan Mengadakan (pula di dalamnya) untukmu
sungai-sungai.”
Mendengar jawaban kyai ini, para santri
mengerti bahwa jawaban itu memang merupakan janji Allah bagi siapa yang
memperbanyak baca istighfar. Memang benar. Tak lama setelah kejadian
itu, ketiga tamunya semuanya berhasil apa yang dihajatkan.
Misteri Di Balik Cerita Kyai Kholil Ingin Belajar Shalat
Usai
pengajian Aboge, saat para sufi minum kopi sambil makan singkong
rebus, tiba-tiba Dullah menuturkan sebuah cerita yang diungkapkan
kakeknya sebelum meninggal. Cerita itu, menurut Dullah, sengaja disimpan
kakeknya karena dianggap cerita sepenggal yang tanpa kelanjutan. Di
samping itu, cerita itu menyangkut orang-orang yang sudah meninggal
dunia seperti Kyai Kholil Bangkalan dan Ustadz Al-Kasan Wahab Bandung.
Rangkaian ceritanya, ringkasnya seperti ini:
Tahun
1930-an umat Islam di Hindia Belanda diguncang tuduhan sebagai kaum
muslimin yang terjangkit penyakit TBC (Tachayul-Bid’ah-Khurafat) akut
yang harus disembuhkan. Sebab penyakit TBC yang akut akan menjadikan
penderitanya sesat di dunia dan akhirat, sehingga takdir penderitanya
akan berakhir di neraka. Salah seorang tokoh pemberantas penyakit TBC
yang termasyhur saat itu adalah ustadz Al-Kasan Wahab, asal Bandung,
Jawa Barat. Sejumlah tokoh agama tradisional di sejumlah kampung yang
didatangi dan diajak berdebat “adu resep obat” penghilang TBC, membuat
nama Al-Kasan Wahab semakin melambung di penjuru Hindia Belanda.
Ustadz
Al-Kasan Wahab sadar bahwa dengan cara berdebat dari kampung ke
kampung akan memakan waktu yang sangat lama dan itu memberi kesempatan
bagi perkembangan kuman-kuman TBC untuk menyebar lebih luas ke berbagai
daerah. Untuk itu, ustadz Al-Kasan Wahab akan mengajak debat “adu
resep obat” penyembuh TBC melawan Kyai Kholil Bangkalan yang dikenal
sebagai seorang tokoh kyai yang menjadi sumber penyebar kuman TBC, yang
jadi panutan para kyai penyebar TBC di Hindia Belanda. Dengan debat
“adu resep obat” itu Ustadz Al-Kasan Wahab juga punya maksud untuk
mengingatkan umat Islam agar tidak mengkultuskan kyai Kholil sebagai
wali, terutama menolak ajaran tarekat yang diajarkan Kyai Kholil.
Untuk
rencananya yang bakal menghebohkan itu, ustadz Al-Kasan Wahab
mengutus seorang muridnya untuk menghadap Kyai Kholil. Kepada Kyai
Kholil murid Al-Kasan Wahab itu menyampaikan maksud gurunya yang
mengajak sang kyai untuk debat secara terbuka tentang kebenaran
agama Islam sesuai yang diteladankan Nabi Muhammad Saw, termasuk di
dalamnya usaha-usaha memberantas penyakit TBC yang menjangkiti umat
Islam Hindia Belanda. Namun baru saja murid ustadz Al-Kasan Wahab
menyampaikan maksudnya kepada Kyai Kholil yang sedang mengajar mengaji
santri-santrinya, Kyai Kholil menyambutnya dengan tertawa dan
menyatakan setuju sekali dengan rencana pertemuan terbuka itu apalagi
disaksikan oleh masyarakat umum. “Tapi saya tidak mau debat loh. Karena
debat itu akan merusak hati,” kata Kyai Kholil .
“Kalau pertemuan terbuka tidak ada debat, lalu bagaimana kyai? Apa acara utamanya?” tanya murid ustadz Al-Kasan Wahab heran.
“Saya
ini orang bodoh, Tuan. Saya tidak punya ilmu apa-apa. Shalat saja,
saya merasa belum benar. Jadi dalam pertemuan dengan guru sampeyan
nanti, saya justru akan belajar shalat kepada beliau. Saya ingin guru
sampeyan mengajari saya bagaimana shalat yang benar menurut contoh
Rasulullah Saw dari mulai berdiri, takbir, rukuk, sujud, duduk
tasyahud sampai salam,” kata Kyai Kholil.
Heran
dengan rencana Kyai Kholil yang ingin belajar shalat secara terbuka
kepada gurunya, murid ustadz Al-Kasan Wahab itu saat kembali langsung
melaporkan apa yang dikemukakan Kyai Kholil itu kepada gurunya.
Ternyata, ustadz Al-Kasan Wahab menerima laporan muridnya itu dengan
wajah merah padam dan nafas tersengal-sengal serta dada naik turun. Ia
kelihatan geram sekali. Kemudian dengan suara keras ia menghardik sang
murid, ”Sudah jangan pernah ke sana lagi.”
Sementara
itu, para santri Kyai Kholil yang menunggu kapan acara guru mereka
belajar shalat kepada ustadz Al-Kasan Wahab secara terbuka itu
diadakan, ternyata harus kecewa karena mereka tidak pernah mendapati
acara itu terselenggara. Sebagai santri, mereka tidak berani menanyakan
masalah itu kepada Kyai Kholil. Mereka hanya yakin bahwa guru mereka
lebih tahu, apa sesungguhnya yang terjadi dengan acara debat terbuka
yang tak pernah terselenggara itu. Mereka tidak berani bertanya, bahkan
sampai saat Kyai Kholil wafat. Meski peristiwa itu sudah berlangsung
puluhan tahun, dan sampai saat mereka tua dan beranak-pinak, peristiwa
kedatangan murid ustadz Al-Kasan Wahab itu tetap menjadi misteri tak
terpecahkan. Dan peristiwa misterius itu, pada gilirannya hanya menjadi
dongeng tak terpoecahkan ketika dikisahkan para santri tersebut kepada
anak dan cucunya. Dengan polos, para santri itu menyatakan bahwa
mereka tidak pernah mengetahui gerangan apakah yang menyebabkan ustadz
Al-Kasan Wahab mengurungkan niatnya untuk mengadakan pertemuan secara
terbuka dengan Kyai Kholil dalam rangka membincang kebenaran Agama,
khususnya rencana Kyai Kholil belajar shalat kepada ustadz Al-Kasan
Wahab.
Usai mendengar penuturan Dullah, semua diam. Hanya Guru Sufi yang tertawa tetapi setelah itu tidak berkomentar apa pun.
Dullah
yang penasaran, buru-buru bertanya,”Saya yakin, guru mesti tahu jawaban
dari cerita misterius kakek saya itu. Apa kira-kira yang menyebabkan
ustadz Al-Kasan Wahab mengurungkan niat untuk mengadakan pertemuan
dengan Kyai Kholil?”
“Sudahlah, tidak elok
membicarakan yang kurang baik pada beliau-beliau yang sudah meninggal.
Rasulullah Saw melarang kita membincang aib orang mati. Jadi sebaiknya
ditutup saja cerita itu,” kata Guru Sufi berkomentar.
“Tapi
guru, kira-kira apa yang menyebabkan acara itu batal?” tanya Dullah
mulai menangkap makna di balik ucapan Guru Sufi, ”Apa karena menyangkut
sesuatu hal di mana ustadz Al-Kasan Wahab tidak bisa memenuhi permohonan
Mbah Kyai Kholil, mengajarkan shalat dengan sempurna sesuai contoh Nabi
Muhammad Saw?”
“Ya kira-kira begitulah
jawabannya menurut penafsiranku, yang belum tentu benar,” sahut Guru
Sufi meninggalkan ruangan dengan tetap meninggalkan tanda tanya bagi
sebagian santri yang belum menangkap makna di balik perbincangan Guru
Sufi dengan Dullah.
Bedug Bid'ah?
Di
daerah sekitar Bangkalan terjadi percekcokan. Bedug yang selama ini
digunakan alat tanda masuknya sholat, digugat. Sekelompok orang
menyatakan pemakaian bedug adalah bid'ah. Bedug harus dibuang,
diberantas, tidak boleh ada di mesjid. Sekelompok lainnya, bedug tidak
bid'ah, tetapi sekedar alat, tidak masuk dalam ritual Islam.
Silang
pendapat mengenai hukum bedug tidak bisa dihindari. Mereka sama-sama
mempertahankan pendiriannya masing-masing. Satu sama lain tidak ada yang
mengalah. Melihat beberapa pihak tersebut tidak ada tanda-tanda
kesepakatan, akhirnya salah seorang mengusulkan penyelesaian mendatangi
Kyai Kholil. Mereka mempercayai Kyai Kholil, karena menganggap beliau
yang dapat dipercaya, alim dan bijaksana serta disegani masyarakat
daerah Bangkalan.
Beberapa puluh meter mendekati pesantren,
Kyai Kholil sudah menunggu kedatangan mereka. Kyai Kholil seakan sudah
mengetahui apa maksud kedatangan mereka. Setibanya rombongan bermasalah
di pesantren, Kyai Kholil langsung menyuruh para santrinya meminjam
bedug ke kelebun (kepala desa).
Tidak begitu lama datanglah
bedug yang cukup besar dibawa ke hadapan Kyai Kholil. Tanpa berbicara
sepatah kata pun, Kyai Kholil langsung mengambil pemukul bedug, lalu
menabuh sendiri bedug berkali-kali dengan kencangnya.
Dengan
demonstrasi Kyai Kholil itu, terjawab sudah. Bedug yang selama ini
diyakini sebagai bid'ah ternyata jawaban Kyai Kholil tidak apa-apa,
boleh dipakai, tidak tergolong bid'ah. Rombongan yang bermasalah itu
akhirnya merasa puas dan pulang ke daerahnya masing-masing tanpa timbul
percekcokan lagi.
Menambal Kapal
Sebagai
pimpinan pesantren, Kyai Kholil senantiasa mengimami sholat berjamaah
di Mesjid. Ketika mengimami sholat, tiba-tiba keluar dari jamaah sholat
menuju ke halaman mesjid. Tangan Kyai Kholil bergerak ke kanan-kiri
seakan berbuat sesuatu yang sangat menyibukkan. Hal ini sangat tidak
dipahami para santri. Mereka hanya diam seribu bahasa, menunggu apa yang
akan terjadi selanjutnya.
Setelah beberapa lama Kyai Kholil di halaman, lalu kembali mengimami sholat hingga selesai.
Beberapa
hari berlalu, begitu pula dengan kegiatan pesantren berjalan
sebagaimana mestinya. Tetapi, bagi para santri peristiwa aneh yang tidak
dipahami beberapa hari lalu tetap menjadi tanda tanya. Para santri
tetap penasaran sebelum terpecahkan. Hari demi hari berlalu, tidak ada
tanda-tanda pemecahan peristiwa yang selalu diingat itu. Baru setelah
beberapa hari setelah kejadian itu, datang beberapa orang membawa
bungkusan yang sangat banyak.
"Mau kemana saudara-saudara ini?" tanya seorang santri kepada tamu yang baru datang.
"Saya
akan menemui Kyai Kholil. Seminggu yang lalu beliau telah menolong kami
dari musibah bocor kapal kami," jawab rombongan yang baru datang itu.
"Seminggu
yang lalu?" pikir santri. Padahal, beberapa minggu yang lalu, Kyai
Kholil tidak pernah bepergian apalagi menyeberang laut. Akhirnya, santri
tersebut mengantarkan rombongan yang baru datang itu ke Kyai Kholil.
Seperti biasanya, kalau kyai kedatangan tamu, lalu bertanya:
"Ada keperluan apa?" ucap Kyai Kholil menyambut kedatangan tamu itu.
"Kami
ingin mengucapkan terima kasih berkat upaya kyai yang menyumbat kapal
laut kami yang bocor sehingga kami selamat. Kami tentu akan tenggelam
jika tidak ada Kyai dan harta kami semua akan hilang begitu saja," ucap
rombongan itu dengan wajah berseri-seri.
Para santri yang
sengaja mendengarkan pembicaraan di sekitar rombongan itu, seketika
sadar dan memahami tentang kejadian seminggu yang lalu. Rupanya, ketika
kyai memimpin sholat jamaah lalu keluar ke halaman masjid dalam upaya
menyumbat kapal bocor. Pantas tangan kyai sibuk bergerak kian kemari.
Sejak saat itu, para santri menjadi tenang dan tidak penasaran lagi
tentang peristiwa yang selalu diingatnya itu.
Tahlil Kiai Kholil
Suatu
hari, KH Kholil Bangkalan diminta untuk memimpin tahlil di kediaman
seorang warga. Sampai di rumah shohibul hajat, kiai Kholil memimpin
jalannya acara. Tetapi ada yang ganjil, setelah salam beliau hanya
membacakan kalimat thoyibah “La ilaha illallah” sekali saja. Lantas
salam dan pulang. Padahal oleh pemilik rumah beliau diberi berkat dengan
ukuran kardus yang cukup besar.
Melihat
kejadian itu istri pemilik rumah marah-marah kepada suaminya. Jika
pemberian berkat untuk kiai Kholil dengan bacaan tahlil tidak sebanding.
Akhirnya si istri meminta suaminya untuk mendatangi kediaman beliau.
Sampai di rumah kiai kemudian lelaki tersebut menjelaskan maksud
kedatangannya.
Lelaki: “Kiai, kehadiran saya kesini atas permintaan istri saya. Dia merasa ganjil dengan tahlil yang kiai pimpin tadi.”
Kiai:
“Pantas saja sampai rumah ketika berkat mau dibuka oleh istri, saya
melarangnya. Akhirnya saya pun menaruhnya di atas almari.”
Untuk
menjelaskan keganjilan itu, kiai mengambil timbangan, selembar kertas
bertuliskan kalimat thoyibah dan berkat. Subhanallah, setelah ditimbang,
ternyata berat menuju selembar kertas yang bertuliskan kalimat
thoyibah.
Kiai: “Makanya, saya hanya membacakan
satu kalimat tahlil saja. Karena bacaan itu sudah cukup untuk bingkisan
ahli kuburmu. Beratnya pun melebihi berkat yang anda berikan kepadaku.”
(Syaiful Mustaqim)
Ikhlas
Di
Bangkalan Madura, hidup sepasang suami-isteri yang cukup bahagia. Pada
suatu hari, sang suami berkata kepada isterinya. “Bu, saya ingin sekali
sowan (berkunjung) ke Kyai Kholil,” katanya pada suatu pagi.
"Itu
bagus sekali Pak, tetapi apa yang akan kita bawa sebagai oleh-oleh
kepada Kyai Kholil, kita tidak mempunyai apa-apa kecuali sebuah bentul,"
jawab isterinya.
"Tidak apa-apa, bentul itu saja yang kita
bawa. Asalkan kita ikhlas, Insya Allah akan diterima," tegas sang suami
meyakinkan isterinya.
Maka berangkatlah suami isteri tersebut
ke Kyai Kholil. Dengan berbekal tawakkal dan sebuah bentul, mereka yakin
akan diterima Kyai Kholil dengan baik. Bentul adalah makanan sangat
sederhana sejenis talas. Sesampainya di kediaman Kyai Kholil
kedatangannya sudah ditunggu. Mereka disambut dengan hangat.
"Kyai, saya tidak membawa apa-apa, hanya sebuah bentul ini yang bisa kami haturkan untuk Kyai.” ucap sang suami rada malu-malu.
"Wah kebetulan, saya memang ingin makan bentul," jawab Kyai Kholil menghibur.
Kemudian
Kyai Kholil memanggil beberapa santri dan menyuruhnya untuk merebus
bentul yang baru diterimanya itu. Tak lama setelah itu, santri datang
membawa bentul yang sudah direbus itu. Kyai Kholil kelihatan sangat
senang dan suka terhadap bentul itu, lalu dimakannya sampai habis.
Suami-isteri yang sowan ke Kyai Kholil itu merasa senang, sebab apa yang dikhawatirkan selama ini menjadi kegembiraan.
Beberapa
hari kemudian, suami-isteri itu ingin sowan kembali ke kyai Kholil.
Masih segar di ingatan suami isteri itu akan kesukaan Kyai Kholil. Kali
ini, tidak seperti terdahulu. Mereka membawa oleh-oleh bentul
sebanyak-banyaknya dengan harapan Kyai Kholil sangat senang menerimanya.
Maka berangkatlah suami isteri tersebut ke ulama karismatik itu. Tidak
seperti dahulu, dugaan mereka meleset. Mereka disambut dingin. Begitu
juga dengan oleh-oleh yang banyak itu. Kyai Kholil tidak menerima
oleh-olehnya dan disuruh bawa pulang kembali.
Pada saat mereka
pulang disadarinya apa yang telah mereka lakukan selama ini. Ternyata,
oleh-oleh bentul yang pertama diniatkan semata-mata karena keikhlasan
dan tawakkal kepada Allah, sedangkan sowan yang kedua tidak dilanda
ikhlas, tetapi rasa pamrih. Mereka meyakini atas kekuatannya sendiri dan
merasa dirinya mampu membawa oleh-oleh kepada kyai. Dan itu sangat
tidak disukai Kyai Kholil.
Berkah keramat Mbah Kholil Bangkalan, sekarang banyak penduduk Madura yang sudah menetap si Arab Saudi
Ini berawal dari kisah keramat beliau :
Setiap
sore beliau meminta kepada sang guru Syech Abdul Ghoni bin Shubuh bin
Ismail Al Bimawy (Bima, Sumbawa) seraya berkata “Ya Tuan guru, saya
ingin pulang”
Pulang ke mana, tanya sang guru
… Ke Madura, Jawa Mbah Kholil
Guru menyahut, Trus, ke sini mu kapan ?
“Besok” jawab Kyai Kholil
Seketika itu Syech Abdul Ghoni menjewer telinga kholil muda, dan saat itu pula beliau sampai di Madura
Besok paginya, Kyai Kholil mengajak 5 tetangganya untuk ke Makkah seraya naik perahu sampan..
Lho apa bisa ? tanya para tetangga yang ikut..
Kyai Kholil menjawab “Bisa atas izin Allah, Yuk mari kita bersama selalu membaca Ya Hayyu Ya Qoyyum, La Ilaha Illa Anta”
Karena
orang Madura saat itu masih banyak yang belum bisa baca arab hanya
berkata Kayum-kayyum.. akhirnya dapat sampai Makkah pagi itu juga
Hal ini terjadi berkali-kali sehingga menjadikan orang Madura banykyansampai ke Makkah dengan bersama karamat wali
Dengan
ini kami ingatkan ijazah membaca Ya Hayyu Ya Qoyyum La Ilaha Illa Anta
sebanyak 40 kali sebelum sholat shubuh sebagaimana ijazah yang diberikan
para masyayikh secara umum
Bilang Saja Santri Kiai Kholil
Suatu ketika, KH Kholil Bangkalan diminta warga untuk memimpin talqin mayit. Awal mulanya beliau tidak menyanggupinya. Karena didesak oleh shohibul musibah akhirnya
kiai Kholil mau dengan syarat. Karena beliau beserta lima santri, tiap
santri harus dibayar satu juta sehingga lima santri berjumlah lima juta.
Setelah dilakukan negosiasi permintaan kiai direstui oleh shohibul musibah.
Prosesi talqin dimulai, kiai Kholil beserta kelima santri mendekat ke kubur. Tidak seperti talqin pada umumnya, beliau menggoyang-goyangkan batu nisan jenazah dengan keras dan hal tersebut membuat kaget jamaah takziyah. Dengan masih menggoyang-goyangkan batu nisan dengan keras beliau mulai men-talqin, “Hai mayit, nanti kalau ditemui malaikat bilang saja engkau santri KH Kholil Bangkalan.”
Prosesi talqin dimulai, kiai Kholil beserta kelima santri mendekat ke kubur. Tidak seperti talqin pada umumnya, beliau menggoyang-goyangkan batu nisan jenazah dengan keras dan hal tersebut membuat kaget jamaah takziyah. Dengan masih menggoyang-goyangkan batu nisan dengan keras beliau mulai men-talqin, “Hai mayit, nanti kalau ditemui malaikat bilang saja engkau santri KH Kholil Bangkalan.”
Adab Ta'dzim dengan Guru
Salah
satu rahasia seorang murid bisa berhasil mendapatkan ilmu dari gurunya
adalah taat dan hormat kepada gurunya. Guru adalah orang yang punya
ilmu. Sedangkan murid adalah orang yang mendapatkan ilmu dari sang guru.
Seorang murid harus berbakti kepada gurunya. Dia tidak boleh membantah
apalagi menentang perintah sang guru (kecuali jika gurunya mengajarkan
ajaran yang tercela dan bertentangan dengan syariat Islam maka sang
murid wajib tidak menurutinya). Kalau titah guru baik, murid tidak boleh
membantahnya.
Inilah yang dilakukan Kyai
Hasyim Asy'ari (Pendiri Nahdlatul 'Ulama (NU)) . Beliau nyantri kepada
Kyai Kholil, Bangkalan. Di pondok milik Kyai Kholil, Kyai Hasyim dididik
akhlaknya. Saban hari, Kyai Hasyim disuruh gurunya angon (merawat) sapi
dan kambing. Kyai Hasyim disuruh membersihkan kandang dan mencari
rumput. Ilmu yang diberikan Kyai Kholil kepada muridnya itu memang bukan
ilmu teoretis, melainkan ilmu pragmatis. Langsung penerapan.
Sebagai
murid, Kyai Hasyim tidak pernah nggresulo (mengeluh) disuruh gurunya
angon sapi dan kambing. Beliau terima titah gurunya itu sebagai khidmat
(penghormatan) kepada guru. Beliau sadar bahwa ilmu dari gunya akan
berhasil diperoleh apabila sang guru ridlo kepada muridnya. Inilah yang
dicari Kyai Hasyim, yakni keridoan guru. Beliau tidak hanya berhadap
ilmu teoretis dari Kyai Kholil tapi lebih dari itu, yang diinginkan
adalah berkah dari Kyai Kholil. Kalau anak santri sekarang dimodel
seperti ini, mungkin tidak tahan dan langsung keluar dari pondok. Anak
santri sekarang kan lebih mengutamakan mencari ilmu teoretis. Mencari
ilmu fikih, ilmu hadits, ilmu nahwu shorof, dan sebagainya. Sementara
ilmu "akhlak" terapannya malah kurang diperhatikan.
Suatu
hari, seperti biasa Kyai Hasyim setelah memasukkan sapi dan kambing ke
kandangnya, Kyai Hasyim langsung mandi dan sholat Ashar. Sebelum sempat
mandi, Kyai Hasyim melihat gurunya. Kyai Kholil termenung sendiri.
Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hati sang guru. Maka
diberanikanlah oleh Kyai Hasyim untuk bertanya kepada Kyai Kholil. " Ada
apa gerangan wahai guru kok kelihatan sedih," tanya Kyai Hasyim kepada
Kyai Kholil." Bagaimana tidak sedih, wahai muridku. Cincin pemberian
istriku jatuh di kamar mandi. Lalu masuk ke lubang pembuangan akhir
(septictank),"jawab Kyai Kholil dengan nada sedih.
Mendengar
jawaban sang guru, Kyai Hasyim segera meminta ijin untuk membantu
mencarikan cincin yang jatuh itu. Dan diijini. Langsung saja Kyai Hasyim
masuk ke kamar mandi dan membongkar septictank (kakus). Bisa
dibayangkan, namanya kakus dalamnya bagaimana dan isinya apa saja. Namun
Kyai Hasyim karena hormat dan sayangnya kepada guru tidak pikir
panjang. Beliau langsung masuk ke septictank itu dan dikeluarkan isinya.
Setelah dikuras seluruhnya, dan badan Kyai Hasyim penuh dengan kotoran,
akhirnya cincin milik gurunya berhasil ditemukan. Betapa riangnya sang
guru melihat muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya itu. Sampai
terucap doa: "Aku ridho padamu wahai Hasyim, Kudoakan dengan
pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi
orang besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu" Demikianlah
doa yang keluar dari Kyai Kholil. Karena yang berdoa seorang shalih, ya
mustajab. Tiada yang memungkiri bahwa di kemudian hari, Kyai Hasyim
menjadi ulama besar. Mengapa bisa begitu? Di samping karena Kyai Hasyim
adalah pribadi pilihan, beliau mendapat "berkah" dari gurunya karena
gurunya ridho kepadanya.
Mempelajari kitab
Seperti pernah dikisahkan KH Anwar Siradj, pe-ngasuh PP
Nurul Dholam Bangil Pasuruan. Saat mempelajari kitab alfiyah, beliau
mengalami kesulit-an. Padahal, kitab yang berupa gramatika Bahasa Arab
tersebut, merupakan kunci untuk mendalami kitab-kitab lain.
Kiai
Anwar sudah mencoba berguru kepada kiai-kiai besar di hampir semua
penjuru Jawa Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu ketika, seperti
dikisahkan ustadz Muhammad Salim (santri Nurul Dholam), Kiai Anwar dapat
petunjuk, agar mempelajari kitab alfiyah di makam Mbah Kholil.
Petunjuk
gaib itu pun dilaksanakan. Selama sebulan penuh Kiai Anwar ziarah di
makam Mbah Kholil Bangkalan. Di makam itu dia mempelajari kitab alfiyah.
”Akhirnya Kiai Anwar bisa menghafal alfiyah,” jelas Ustadz Salim.
Banyak
ulama generasi sekarang yang meski tidak pernah ketemu fisik dan bahkan
lahirnya jauh sesudah Mbah Kholil meninggal, mengakui kalau perintis
dakwah di Pulau Madura ini adalah guru mereka. Bukan guru secara fisik,
melainkan pembimbing secara batin.
Berikut
ini adalah doa-doa yang dianjurkan oleh KH. Kholil Bin Abd. Latif
Bangkalan untuk suami istri yang sedang berbahagia menantikan kelahiran
putra atau putrinya. Semoga bermanfaat bagi kita semua, khususnya untuk
pasangan yang tengah berbahagia menunggu buah hati tercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar