Damhuri
Muhammad, lahir di Padang,
1 Juli 1974. Alumnus Pascasarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
(2001). Bermukim di Jakarta. Ia menulis cerita pendek, esai seni, dan kritik
buku di sejumlah media nasional seperti Kompas, Media Indonesia, Majalah TEMPO, Seputar
Indonesia, Suara Pembaruan, Republika, Jawa Pos, Pikiran
Rakyat, majalah GATRA, ESQUIRE,
tabloid NOVA, dll. Karya fiksinya yang sudah terbit: Laras (2005), Lidah
Sembilu (2006), dan Juru Masak (2009).
Cerpennya Ratap Gadis Suayan, Bigau,
dan Orang-orang Larenjang terpilih dalam buku cerpen
pilihan Kompas, pada tahun pemilihan yang berbeda-beda. Buku
esai sastra terkininya; Darah-daging Sastra Indonesia (2010).
Sejak 2011 ia berkhidmat sebagai anggota komite penjurian Lomba Penulisan
Buku Pengayaan Kurikulum di Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) KEMDIKBUD
RI. Pada 2008 dan 2013 ia menjadi Ketua Tim Juri Khatulistiwa Literary Award
(KLA)--peristiwa penghargaan sastra paling berpengaruh di Indonesia. Maret
2014, ia terpilih sebagai salah satu steering board (Dewan
Pengarah) Asean Literary Festival (Festival Sastra Asia Tenggara), yang
dihadiri oleh perwakilan 15 negara, dan Indonesia sebagai tuan rumahnya.
Sehari-hari ia bekerja sebagai redaktur sastra di harian Media
Indonesia, di Jakarta.
Damhuri
Muhammad yang merupakan salah satu penulis karya sastra yang tersohor di mata
masyarakat telah menciptakan berbagai karya sastra, khususnya cerpen yang
berkualitas dan sangat layak untuk dibaca. Cerpen yang dibuat oleh Damhuri yang
meniupkan kekhasan budaya dari daerah Sumatera Barat, terutama adat Suku Minang
terasa mampu menghipnotis para pembaca. Selain khasanah budaya, Damhuri juga
menitikberatkan cerpen-cerpennya dengan nilai moral yang tersirat. Hal ini
merupakan alasan kita untuk membaca cerpen-cerpen karagannya
Salah satu cerpen Damhuri Muhammad yang paling tersohor
adalah "Juru Masak" yang meceritakan perjuangan sesosok lelaki yang
menggapai kesuksesan di perantauan, hengkang dari kampung karena cintanya yang
tak mendapat restu. Dalam cerpen ini kita bisa memetik buah moral yang
terkandung, yaitu tidak memandang remeh seseorang siapapun dia. Memang
cerpen-cerpen dari Damhuri sarat akan pesan moral yang menjadi kesan tersendiri
bagi para pembaca.
BASRIZAL KOTO
Basrizal
Koto (lahir di Kampung Ladang, Pariaman,
Sumatera
Barat, 11 Oktober 1959; umur 54 tahun)
adalah pengusaha besar atau konglomerat Indonesia
asal Sumatera Barat. Basrizal atau yang biasa
dipanggil Basko sukses berbisnis di banyak bidang, diantaranya bisnis
media, percetakan, pertambangan, peternakan, perhotelan, dan property.
Kehidupan
Basko
lahir di Kampung Ladang, Pariaman dari pasangan Ali Absyar dan Djaninar. Masa
kecilnya sangatlah getir, dimana Basko sempat merasakan hanya makan sehari
sekali, di mana untuk makan sehari-hari saja sang ibu harus meminjam beras ke
tetangga. Ayahnya hanyalah bekerja sebagai buruh tani yang mengolah gabah.
Karena susahnya hidup, ia ditinggal ayahnya yang pergi merantau ke Riau. Ketabahan sang ibu
yang dipanggilnya amak dalam menghadapi kehidupan selalu membekas
dihatinya.
Meski
sempat bersekolah hingga kelas lima SD, Basko akhirnya berkesimpulan bahwa
kemiskinan harus dilawan bukan untuk dinikmati. Atas seizin ibunya, diapun
memilih pergi merantau ke Riau dibanding melanjutkan sekolah. Sebelum
berangkat, ibunya berpesan agar menerapkan 3 K dalam hidup, yaitu pandai-pandai
berkomunikasi, manfaatkan peluang dan kesempatan, serta bekerjalah dengan
komitmen tinggi. 3 K itulah yang dia terapkan dalam berbisnis. Hal pertama yang
dilakukannya di perantauan adalah datang ke terminal setelah subuh untuk
mencari pekerjaan menjadi kernet. Berkat kemampuannya berkomunikasi, maka hari
pertama dia sudah bisa membantu sopir oplet. Saat pertama jadi kernet,
siang-malam dia bekerja hingga memungkinkan untuk menyewa rumah kontrakan guna
menampung keluarga.
Perjalanan Bisnis
Basko
yang panjang akal dan visioner mengawali usahanya dengan berjualan pete. Meski
tidak punya uang tetapi dengan modal kepercayaan, pete yang belum dibayar
dibawanya ke restoran Padang dan dijual dengan selisih harga
yang lebih tinggi. Perjalanan hidupnya penuh warna dan keinginan untuk terus
mengubah nasib mengantarnya menjajal berbagai macam profesi mulai dari kernet,
sopir, pemborong, tukang jahit hingga akhirnya menjadi dealer mobil.
Kemahirannya
berkomunikasi, membangun jaringan, menepati janji, dan menjaga kepercayaan
akhirnya membawanya sukses menaklukan kemiskinan, membangun kerajaan bisnis,
dan menciptakan lapangan kerja. Jumlah perusahaan yang dikelolanya kini
mencapai 15 perusahaan dan sejak 2006 dia juga terjun ke bisnis penambangan
batu bara di Riau, menyediakan jasa TV kabel dan Internet di Sumatra.
Beberapa
perusahaan yang masuk dalam MCB Group miliknya adalah PT Basko Minang Plaza
(pusat belanja), PT Cerya Riau Mandiri Printing (CRMP) (percetakan), PT Cerya
Zico Utama (properti), PT Bastara Jaya Muda (tambang batubara), PT Riau Agro
Mandiri (penggemukan, impor dan ekspor ternak), PT Riau Agro Mandiri Perkasa
(pembibitan, pengalengan daging), PT Indonesian Mesh Network (TV kabel dan
Internet), dan PT Best Western Hotel (saat ini berubah nama menjadi Premier
Basko Hotel) Padang. Premier Basko Hotel Padang sebuah hotel bintang lima
terdiri dari 180 kamar yang beroperasi di Padang,
Sumatera Barat. Saat ini proyek yang sedang berjalan seiring dengan perkembangan
kota Pekanbaru,
Riau adalah Green City
Riau] Superblock yang berada di jantung pusat Kota Pekanbaru berdiri di lahan
seluas 2 Hektar dengan konsep Superblock dimana terdiri dari 7 Lantai Pusat Perbelanjaan dan 3
Tower masing-masing Tower Apartemen, Tower Condotel / Condominium
Hotel dan 1 Tower Perkantoran.
Ia
juga menjadi pemilik empat media yang sirkulasinya hampir seluruh Pulau
Sumatera bahkan menjangkau Jakarta, yaitu Harian Haluan
di Padang, Harian Haluan Kepri di Batam, Harian Haluan Riau di Pekanbaru dan
Radio Mandiri FM di Pekanbaru.[2]
Perusahaan
Beberapa
di antara perusahaan milik Basrizal Koto:
- Harian Haluan di Padang
- Harian Haluan Riau di Pekanbaru
- Harian Haluan Kepri di Batam
- Radio Mandiri FM di Pekanbaru
- Basko Grand Mall (Padang)
- Green City Tower (Riau)
- Cerya Riau Mandiri Printing
(CRMP) (Riau)
- PT Cerya Zico Utama (Riau)
- PT Bastara Jaya Muda (tambang
batu bara)
- PT Riau Agro Mandiri
(penggemukan, impor dan ekspor ternak)
- PT Riau Agro Mandiri Perkasa
(pembibitan, pengalengan daging)
- PT Indonesian Mesh Network (TV
kabel dan Internet)
- PT Best Western Hotel Padang
- Premier Basko Hotel Padang
Organisasi
- Ketua Forum Silaturahmi
Saudagar Minang (FSSM) (2008-2013)
- Ketua Umum Ikatan Keluarga
Minang Riau (IKMR) (2000-2015)
- Ketua Yayasan Pendidikan Bunda
Riau
- Ketua Pembina ESQ Provinsi Riau
Nama Lengkap : Fahmi Idris
Profesi : -
Agama : Islam
Tempat Lahir : Jakarta
Tanggal Lahir : Senin,
20 September 1943
Zodiac : Virgo
Warga Negara : Indonesia
BIOGRAFI
Fahmi
Idris adalah seorang politikus dan pengusaha kelahiran Jakarta. Ia memulai
karir di dunia politik sejak menjadi mahasiswa di Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia. Selama masa kuliahnya, ia sempat menjabat beberapa jabatan penting
kemahasiswaan, antara lain sebagai pimpinan Himpunan Mahasiswa Islam, Ketua
Senat Fakultas Ekonomi UI (1965-1966), dan Ketua Laskar Arief Rachman Hakim
(1966-1968).
Fahmi
Idris tidak melanjutkan kuliah ekonomi di Universitas Indonesia, karena ia
lebih tertarik pada dunia bisnis. Bakat wirausahanya ia warisi dari ayahnya,
Haji Idris, yang berprofesi sebagai pedagang. Walaupun kemudian dia
melanjutkan studinya ke Fakultas Ekonomi Extension UI dan pendidikan Financial
Management for Non-Financial Manager (1973).
Tahun
1967 ia mulai merintis usaha yang ia bangun sendiri. Pada tahun 1969, bersama
rekan-rekannya dari anggota Eksponen 66, ia mendirikan PT Kwarta Daya Pratama.
Pada tahun 1979, ia menjadi pimpinan Kodel (Kongsi Delapan) Grup, yaitu sebuah
perusahaan konglomerasi yang ia dirikan bersama Aburizal Bakrie, Soegeng
Sarjadi, dan Pontjo Sutowo. Perusahaan ini bergerak di berbagai bidang;
agrobisnis, perdagangan, perbankan, perminyakan, hingga perhotelan.
Pada
tahun 1980-an perusahaan ini dipandang sebagai salah satu perusahaan tersukses
di Indonesia. Bisnis perhotelan yang dikelola Fahmi Idris tidak hanya berjaya
di dalam negeri, namun juga merambah ke kawasan elit Amerika, Beverly hills, California.
Di kawasan itu, Fahmi mempunyai sebuah hotel yang dinamakan Regent Beverly
Whilshire. Selain berkecimpung dalam bidang bisnis, Fahmi tidak bisa
meninggalkan ambisinya di bidang politik. Fahmi bergabung dengan partai Golkar
pada tahun 1984. Ia memilih Partai Golkar karena mempertimbangkan adanya
kesamaan persepsi dalam aspek kemanusiaan dalam kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan Partai berlambang pohon beringin ini. Periode 1998-2004, ia
menjabat sebagai Ketua DPP Golkar di Jakarta.
Pada periode yang sama, ia dilantik menjadi Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Ia sempat dikeluarkan secara tidak hormat dari Partai Golkar
karena ia menentang keputusan hasil Rapat Pimpinan Partai yang mendukung calon
kepemimpinan Megawati-Hasyim Muzadi. Alih-alih, ia mendukung pasangan SBY-JK.
Setelah pasangan ini terpilih, namanya direhabilitasi dan kembali dibawa JK
masuk ke dalam keanggotaan elit partai Golkar. Fahmi juga ditunjuk sebagai
Menteri Tenaga Kerja dalam Kabinet SBY. Namun ia akhirnya di-reshuffle sehingga
ia menjadi Menteri Perindustrian.
Kesuksesan
Fahmi dalam dunia bisnis dan politik tidak lepas dari peran istri yang setia
mendukungnya, yaitu Kartini Hasan Basri. Dari pernikahannya bersama Kartini,
Fahmi dikaruniai dua orang putri, yaitu Fahira Fahmi Idris dan Rina Fahmi
Idris. Kedua putrinya mengikuti jejak Fahmi menjadi pengusaha yang juga sama-sama
sukses di bidang bisnis.
PENDIDIKAN
- LPPM, Jakarta dan Lembaga
Managemen FE UI
- Pendidikan Financial Management
for Non-Financial Manager (1973)
- Melanjutkan ke Fakultas Ekonomi
Extension UI
- Fakultas Ekonomi UI, Jakarta
(1962 tidak selesai)
- SLA, Jakarta (1962)
- SLP, Jakarta (1959)
- SD, Jakarta (1956)
KARIR
- Menteri Perindustrian, 5 Desember
2005–22 Oktober 2009.
- Menteri Tenaga Kerja Kabinet
Pembangunan VII, 21 Mei 1998–26 Oktober 1999.
- Ketua PT Delta Santana (sejak
1984).
- Wakil Ketua PT Wahana Muda
Indonesia (sejak 1983).
- Direktur PT Dharma Muda Pratama
(sejak 1981).
- Wakil Presiden PT Parama Bina
Tani (sejak 1980).
- Direktur PT Ujung Lima
(1968-1969).
- Direktur CV Pasti (1967-1968).
- Presiden PT Kwarta Daya Pratama
(sejak 1969).
- Presiden PT Kodel (sejak 1979).
- Manajer Utama PT Krama Yudha
(1973-1976).
- Direktur PT Krama Yudha (sejak
1976).
- Ketua Senat Fakultas Ekonomi UI
(1965-1966).
- Ketua Laskar Arief Rachman
Hakim (1966-1968).
- Anggota DPRGR (1966-1968).
Hasjim Ning
Kehidupan
Hasjim
merupakan seorang perantau Minangkabau yang datang ke Jakarta
pada tahun 1937. Tetapi, dua tahun kemudian, ia sudah ditunjuk sebagai
perwakilan NV Velodrome Motorcars di Tanjung
Karang, Lampung. Setelah itu, menjadi pemborong tambang batu bara di Tanjung Enim tahun 1941.
Hasjim Ning kembali lagi ke Jawa, menjadi administratur perkebunan teh dan kina
di Cianjur
ketika terjadi perang. Karena bercita-cita menjadi tentara walaupun tidak
direstui orangtua, ia pun ikut mengangkat senjata di Cianjur, Bandung Selatan,
pada tahun 1945. Lima tahun kemudian, ia pensiun dengan pangkat terakhir letnan
kolonel.
Hasjim
kecil mendapat pendidikan cukup keras dari orangtuanya. Usai sekolah ia harus
mengaji, dengan guru yang dipanggil ke rumah. Kini ia mencontoh cara itu untuk
mendidik anak-anaknya. Pengusaha yang mendapat gelar Dr.H.C. untuk Ilmu
Manajemen dari Universitas Islam Sumatera Utara
ini pernah aktif berpolitik. Tahun 1971 ia menjabat Ketua Umum IPKI, kemudian
ikut melahirkan fusi PDI. Tahun 1978 ia mengundurkan diri dari PDI dan menjelang Pemilu
1982 bergabung dengan Golkar. Haji Masagoes
Noer Moechamad Hasjim Ning, 79, meninggal pada 26 Desember 1995 di RS Medistra,
Jakarta, setelah sebelumnya dirawat karena keluhan jantung dan ginjal.[1]
DI BIDANG BISNIS
Setelah
pensiun dari tentara dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel 1951, Hasjim
berdagang mobil dan mendirikan Djakarta Motor Company. Setelah dua tahun, usaha
itu berkembang menjadi usaha perakitan mobil yang pertama di Indonesia,
Indonesian Service Station. Ia kemudian lebih dikenal sebagai pengusaha
perakitan mobil, meskipun juga bergerak dalam berbagai bidang, seperti
ekspor-impor, bank, biro perjalanan, pabrik kosmetik, dan konsultan rekayasa
yang menyerap tidak kurang dari 3.000 karyawan. Selain itu ia menjadi anggota
dewan komisaris PT Jaya, Daha Motor, Jakarta Motor, Hotel Kemang, Asuransi
Sriwijaya, PACTO, dan Central Commercial Bank.
Pada
tahun 1981, ia menjual 49% saham Bank Perniagaan Indonesia miliknya, kepada Mochtar Riady.
Delapan tahun kemudian bank ini mengganti namanya menjadi Lippo Bank,
dan melakukan merger dengan Bank Umum Asia.[2]
Di
awal tahun 1984, Hasjim diwawancarai majalah Perancis
Paris Match. Di sana
ia mengatakan, bisnis perakitan mobil di Indonesia tidak terlalu baik karena
bersaing dengan Jepang.
Mobil-mobil yang dirakitnya memang buatan Eropa dan Amerika.
Perusahaan Eropa dan Amerika mengikuti birokrasi, sedangkan Jepang langsung
memperkenalkan jenis-jenis mobil mereka. Sukses usahanya menyebabkan Hasjim
dipercaya menjabat Ketua Umum Kadin periode 1979-1982.
Karier
- Presiden
Direktur PT Djakarta Motor Company (1950-1953) - Presiden Direktur
(1953-1960 - Presiden Komisaris (1960-1984) - Komisaris PT IRMC, Jakarta,
(1984) - Presiden Direktur PT Indonesian Service Company (1954-1972) -
Presiden Komisaris PT Bank Perniagaan Indonesia (1966) - Presiden
Direktur PT Pacto (1970) - Presiden Direktur Nings and Associates (1974)
ABDUL
LATIEF
Abdul Latief
lahir pada tanggal 27 April 1940 di Kampung Baru, Banda Aceh. Anak keenam dari
sembilan bersaudara ini, dibesarkan di tanah rencong itu. Dua puluh tahun
sebelumnya, ayahnya meninggalkan Tanah Minang, dan menetap di Aceh sebagai
pedagang. Ayah dan Ibunya dikenal sebagai aktivis Muhammadiyah di Aceh. Sayang,
ayah Abdul Latief meninggal tatkala ia berumur empat tahun. Dalam suasana
pergerakan mempertahankan kemerdekaan dan perjuangan rakyat Aceh itu, Abdul
Latief dibesarkan oleh ibunya. Karena dibesarkan dalam zaman-zaman perjuangan
dengan suasana politik yang panas, Abdul Latief bercita-cita jadi politikus di
kemudiah hari. Namun, ibunya mengarahkan menjadi saudagar yang bersifat
nasional seperti ayahnya. Ibu Abdul Latief adalah juga pejuang hidup, pada
tahun 1950 ia membawa Abdul Latief bersaudara pindah ke Jakarta, berharap bisa
berubah nasib di ibukota. Itulah sebabnya masa Remaja Abdul Latief diwarnai
dengan kehidupan Remaja Betawi. Ia menyelesaikan pendidikan Sekolah lanjutan
pertama dan atas di Jakarta. Ia kuliah di APP kemudian mengambil sarjananya
pada tahun 1965 di Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.
Selama tahun 1945 dan 1966, situasi politik nasional sedang kacau.
Demonstrasi-demonstrasi memenuhi jalan raya. Abdul Latief mengambil peran
memasok makanan pada demonstran itu. Situasi belum pulih, tapi Abdul Latief
diberi kepercayaan untuk mempelajari manajemen toserba dan supermarket di Seibu
Group, Tokyo. Sebalik pulang Sekolah dari Jepang itu, ia lalu melangsungkan
pernikahannya dengan Nursiah, gadis tetangga di Jakarta, pada tahun 1967.
Ada
sebagian orang menyebut Abdul Latief, Dirut Alatief
Corporation, masih aktif sebagai tokoh muda. Padahal, umur pendiri organisasi
Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) itu sudah lebih setengah abad.
Setidaknya, ada dua alasan kenapa ia masih dianggap aktivis Pemuda. Pertama,
dalam berbagai kegiatannya, Abdul Latief selalu terlihat segar dan sangat
bersemangat. Kepeloporan dan idealisme mengangkat pengusaha kecil, terutama
yang berkaitan dengan bisnisnya, sering ia lakukan dengan gaya orang muda yang
mampu melihat jauh ke depan.
Lewat
Hipmi, Abdul Latief berhasil mengarahkan sejumlah besar Pemuda untuk menjadi
pengusaha. Belakangan, Hipmi menjadi wadah yang amat digandrungi oleh ratusan
pengusaha muda Indoesia. Banyak di antara para pengusaha muda itu adalah anak
para pejabat dan mantan pejabat. Kesuksesannya mengantar Hipmi sebagai sebuah
organisasi profesional, menyebabkan ia selalu terlibat dalam pembicaraan atau
diskusi tentang pembinaan generasi muda. Baik dalam acara yang diselenggarakan
Hipmi, maupun dalam acara yang diselenggarakan oleh organisasi Pemuda lainnya.
Setelah lulus dari Akademi Pimpinan Perusahaan (APP), Jakarta, dengan Predikat
cumlaude, pada tahun 1963, Abdul Latief mendapat tawaran kerja di Stanvac di
Sungai Gerong. Perusahaan asing yang bergerak di bidang eksplorasi minyak itu,
akan memberi penghasilan dan karir yang baik baginya. Akan tetapi, gurunya di
APP, menganjurkannya bekerja di Pasar Sarinah. Prospek kerja di pasar swalayan
milik pemerntah itu, jauh lebih baik di bandingkan di Stanbac. Sebab, Bung
Karno sebagai Presiden RI saat itu, sangat memberi perhatian untuk
mengembangkan toko serba ada yang pertama di Indonesia itu.
Akumulasi
kekayaan yang berhasil dia kumpulkan selama sepuluh tahun berusaha secara
mandiri, dia pakai untuk mendirikan Pasaraya di kawasan Blok M, Jakarta
Selatan. Gedung Pasar Swalayan yang masuk kategori mentereng ini, dibangun
Abdul Latief pada tahun 1981. Disinilah tonggak pertama yang ditancapkan Abdul
Latief untuk mengukuhkan dirinya sebagai salah seorang pengusaha pedagang
eceran yang patut diperhitungkan. Sebutan konglomerat – sesuatu istilah yang
tak disukainya – sudah mulai melekat padanya. Ia selalu duduk semeja dengan
para pengusaha kenamaan lainnya. Bahkan dengan pimpinan puncak pasar swalayan
asal tempatnya kerja pun, ia sudah terlihat memiliki perbedaan. Lebih dari pada
itu, Abdul Latief mendapat tempat yang terhormat di mata pemerintah. Sebab, ia
mengangkat harga kehidupan dari sekian banyak pengusaha kecil. Oleh sementara
orang ia disebut “Pahlawan pengusaha kerajinan rakyat Indonesia.” Perjalanan
usahanya yang baik itu, rupanya tidak selamanya mulus. Pada akhir tahun 1984
Pasaraya Sarinah Jaya kepunyaannya di Blok M terbakar. Inilah percobaan pertama
terberat yang dialaminya. Kerugian yang ia derita bukan hanya puluhan miliar,
puluhan ribu pengunjungnya setiap hari, terpaksa berhenti sampai bangunan itu
diperbaiki kembali. Ia tidak ingin putus kontrak dengan 2000 produsen kecil
yang menyuplai keperluannya. Kesulitan ini, ia hadapi dengan tenang, 1200
karyawannya tidak akan diberhentikan, mereka disuruh Abdul Latief belajar
manajemen, komputer, accounting, bahasa Inggris. Untuk program belajar ini,
Abdul Latief mendatangkan pelatih dan pengajar ahli dari Singapur dan Hongkong.
Yang menggembirakan Abdul Latief adalah kesediaan pihak asuransi menanggung
sebagian kerugian itu. Bantuan dari rekan-rekannya, juga dari pihak pemerintah
maupun swasta, sangat menjadi semangat baru bagi Abdul latief untuk memikirkan
yang baik buat ekspansi bisnisnya.
Sukses
di pasar swalayan, ia membuka pembibitan benur di Bulikumba, Sulsel. Usaha itu
menghasilkan 100 juta benur pertahun. Abdul Latief juga membuka tambak udang
seluas 120 hektar dengan hasil 4 ton per hektar. Dua sampai tiga kali panen
dalam setahun. Ia mengelola beberapa perkebunan, membuka usaha penerbitan buku,
dan usaha jasa periklanan, asuransi dan berbagai jenis bisnis yang lain. Sambil
melakukan ekspansi bisnis, Abdul Latief juga tertarik pada bidang pendidikan
dengan tiga alasan. Pertama, ia memang membutuhkan sejumlah besar tenaga
terampil di berbagai bidang. Kedua, ia ingin ikut berusaha meningkatkan
kecerdasan warga negara umumnya dan generasi muda khususnya. Ketiga, Abdul
Latief adalah pernah menjadi guru, malah menjadi Direktur Akademi Pimpinan
Perusahaan Departemen Perindustrian, tempat ia belajar. Salah satu Sekolah yang
ingin ia dirikan adalah Sekolah Politeknik.
Itulah
Abdul Latief yang mencatat kesuksesan-kesuksesan selama hidupnya. Mulai dari
Predikat tamatan cum laude di APP, kemudian menjadi pimpinan promosi Pasar
Sarinah, keliling berbagai negara, memberanikan buka usaha sendiri, maju,
sukses, lalu gagal, sukses dan berkembang lagi, sampai menjadi pengusaha yang
besar seperti sekarang ini. Bagi Abdul Latif, sebenarnya masih ada 25 tahun
lagi waktu buatnya untuk berkiprah di dunia bisnis. Namun, ia sudah memasang
ancang-ancang untuk memperbesar porsi kegiatan sosial budaya lewat yayasannya.
Ia juga telah mempersiapkan generasi keduanya untuk melanjutkan dynasty Alatief
Investment Corporationnya. Abdul Latief adalah lambang kesuksesan pedagang
berdarah Minang di zaman orde baru.