Terjemahan Kitab Aswaja ( Ahlus Sunnah Waljama'ah)
assalamualaikum wr.wb
Terjemah
رسالة أهل السنة والجماعة
للعلامة حضرة الشيخ محمّد هاشم اشعرى
I. PENGERTIAN AHLI SUNNAH WALJAMA'AH
ASWAJA sesungguhnya identik dengan pernyataan nabi "Ma Ana 'Alaihi wa
Ashabi" seperti yang dijelaskan sendiri oleh Rasululloh SAW dalam sebuah
hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud
bahwa :"Bani Israil terpecah belah menjadi 72 Golongan dan ummatku akan
terpecah belah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk nereka kecuali satu
golongan". Kemudian para sahabat bertanya ; "Siapakah mereka itu wahai
rasululloh?", lalu Rosululloh menjawab : "Mereka itu adalah Maa Ana
'Alaihi wa Ashabi" yakni mereka yang mengikuti apa saja yang aku
lakukan dan juga dilakukan oleh para sahabatku.
Dalam hadist
tersebut Rasululloh SAW menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah
golongan yang mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasululloh dan para
sahabatnya. Pernyataan nabi ini tentu tidak sekedar kita maknai secara
tekstual, tetapi karena hal tersebut berkaitan dengan pemahaman tentang
ajaran Islam maka "Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" atau Ahli Sunnah
Waljama'ah lebih kita artikan sebagai "Manhaj Au Thariqoh fi Fahmin
Nushus Wa Tafsiriha" ( metode atau cara memahami nash dan bagaimana
mentafsirkannya).
Dari pengertian diatas maka Ahli Sunnah Wal
Jama'ah sesungguhnya sudah ada sejak zaman Rasululloh SAW. Jadi bukanlah
sebuah gerakan yang baru muncul diakhir abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah
yang dikaitkan dengan lahirnya kosep Aqidah Aswaja yang dirumuskan
kembali (direkonstuksi) oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari (Wafat : 935 M)
dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi (Wafat : 944 M) pada saat munculnya
berbagai golaongan yang pemahamannya dibidang aqidah sudah tidak
mengikuti Manhaj atau thariqoh yang dilakukan oleh para sahabat, dan
bahkan banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik dan
kekuasaan.
II. RUANG LINGKUP KERANGKA BERFIKIR ASWAJA
Ahli Sunnah wal Jama'ah meliputi pemahaman dalam tiga bidang utama,
yakni bidang Aqidah, Fiqh dan Tasawwuf. Ketiganya merupakan ajaran Islam
yang harus bersumber dari Nash Qur'an maupun Hadist dan kemudian
menjadi satu kesatuan konsep ajaran ASWAJA.
Dilingkunagn ASWAJA
sendiri terdapat kesepakatan dan perbedaan. Namun perbedaan itu sebatas
pada penerapan dari prinsip-prinsip yang disepakati karena adanya
perbedaan dalam penafsiran sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ushulul
Fiqh dan Tafsirun Nushus. Perbedaan yang terjadi diantara kelompok Ahli
Sunnah Wal Jama'ah tidaklah mengakibatkan keluar dari golongan ASWAJA
sepanjang masih menggunakan metode yang disepakati sebagai Manhajul
Jami' . Hal ini di dasarkan pada Sabda Rosululloh SAW. Yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari Muslim : "Apabila seorang hakim berijtihad kemudian
ijtihadnya benarmaka ia mendapatkan dua pahala, tetapi apabila dia salah
maka ia hanya mendapatkan satu pahala". Oleh sebab itu antara kelompok
Ahli Sunnah Wal Jama'ah walaupun terjadi perbedaan diantara mereka,
tidak boleh saling mengkafirkan, memfasikkan atau membid'ahkan.
Adapun kelompok yang keluar dari garis yang disepakati dalam menggunakan
Manhajul jami' yaitu metode yang diwariskan oleh oleh para sahabat dan
tabi'in juga tidak boleh secara serta merta mengkafirkan mereka
sepanjang mereka masih mengakui pokok-pokok ajaran Islam, tetapi
sebagian ulama menempatkan kelompok ini sebagai Ahlil Bid'ah atau Ahlil
Fusuq. Pendapat tersebut dianut oleh antara lain KH. Hasyim Asy'ari
sebagaimana pernyataan beliau yang memasukkan Syi'ah Imamiah dan
Zaidiyyah termasuk kedalam kelompok Ahlul Bid'ah.
III. KERENGKA PENILAIAN ASWAJA
Ditinjau dari pemahaman diatas bahwa didalam konsep ajaran Ahli Sunnah
Wal Jama'ah terdapat hal-hal yang disepakati dan yang diperselisihkan.
Dari hal-hal yang disepakati terdiri dari disepakati kebenarannya dan
disepakati penyimpangannya.
Beberapa hal yang disepakati kebenarannya itu antara lain bahwa;
1. Ajaran Islam diambil dari Al-Qur'an, Hadist Nabi serta ijma' (kesepakatan para sahabat/Ulama)
2. Sifat-sifat Allah seperti Sama', Bashar dan Kalam merupakan sifat-sifat Allah yang Qodim.
3. Tidak ada yang menyerupai Allah baik dzat, sifat maupun 'Af'alnya.
4.
Alloh adalah dzat yang menjadikan segala sesuatu kebaikan dan keburukan
termasuk segala perbuatan manusia adalah kewhendak Allah, dan segala
sesuatu yang terjadi sebab Qodlo' dan Qodharnya Allah.
5.
Perbuatan dosa baik kecil maupun besar tidaklah menyebabkan orang muslim
menjadi kafir sepanjang tidak mengingkari apa yang telah diwajibkan
oleh Allah atau menghalalkan apa saja yang diharamkan-Nya.
6
Mencintai para sahabat Rasulillahmerupakan sebuah kewajiban, termasuk
juga meyakini bahwa kekhalifahan setelah Rasulillah secara
berturut-turut yakni sahabat Abu Bakar Assiddiq, Umar Bin Khattab,
Ustman Bin "Affan dan Sayyidina "Ali Bin Abi Thalib.
7. Bahwa Amar
ma'ruf dan Nahi mungkar merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan
oleh setiap muslim termasuk kepada para penguasa.
Hal-hal yang disepakati kesesatan dan penyimpangannya antara lain :
1.
Mengingkari kekhalifahan Abu Bakar Assiddiq dan Umar Bin Khattab
kemudian menyatakan bahwa Sayyidina Ali Bin Abi Thalib memperoleh
"Shifatin Nubuwwah" (sifat-sifat kenabian) seperti wahyu, 'ismah dan
lain-lain.
2. Menganggap bahwa orang yang melakukan dosa besar
adalah kafir dan keluar dari Islam seperti yang dianut oleh kalangan
Khawarij, bahkan mereka mengkafirkan Sayyidina Ali karena berdamai
dengan Mu'awiyah.
3. Perbuatan dosa betapapun besarnya tidaklah
menjadi masalah serta tidak menodai iman. Pendapat ini merupakan
pendapat kaum murji'ah dan Abahiyyun.
4. Melakukan penta'wilan
terhadap Nash Al-Qur'an maupun Hadist yang tidak bersumber pada
kaidah-kaidah Bahasa Arab yang benar. Seperti menghilangkan sifat-sifat
ilahiyyah (Ta'thil) antara lain menghilangkan Al-Yad, Al-Istiwa',
Al-Maji' padahal disebut secara sarih (jelas) dalah ayat suci Al-Qur'an,
hanya dengan dalih untuk mensucikan Allah dari segala bentuk
penyerupaan (tasybih)
III. PERKEMBANGAN AHLI SUNNAH WALJAMA'AH
Pada periode pertama, yakni periode para sahabat dan tabi'in pada
dasarnya memiliki dua kecenderungan dalam menyikapi berbagai
perkembangan pemikiran dalam merumuskan konsep-konsep keagamaan,
terutama yang menyangkut masalah Aqidah. Kelompok pertama senantiasa
berpegang teguh kepada nash Qur'an dan Hadist dan tidak mau
mendiskusikannya. Kelompok ini dipelopori oleh antara lain; Umar Bin
Khottob, 'Abdulloh Bin 'Umar, Zaid Bin Tsabit Dan lain-lain. Sedangkan
dari kalangan tabi'in tercatat antara lain Sofyan Tsauri, Auza'I, Malik
Bin Anas, dan Ahmad Bin Hambal. Jika mereka menyaksiksn sekelompok orang
yang berani mendiskusikan atau memperdebatkan masalah-masalah aqidah,
mereka marah dan menyebutnya sebagai melakukan "Bid'ah Mungkarah" .
Adapun kelompok yang kedua adalah kelompok yang memilih untuk melakukan
pembahasan dan berdiskusi untuk menghilangkan kerancuan pemahaman
serta memelihara Aqidah Islamiyah dari berbagai penyimpangan. Diantara
yang termasuk dalam kelompok ini adalah antara lain ; Ali Bin Abi
Thalib, 'Abdulloh Bin 'Abbas dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan
tabi'in tercatat antara lain Hasan Bashri, Abu Hanifah, Harish
Al-Muhasibi dan Abu Tsaur.
Kelompok kedua ini juga merasa
terpanggil untuk menanggapi berbagai keadaan yang dihadapi baik yaang
menyangkut masalah Aqidah, Fiqh maupun Tasawuf karena adanya
kekhawatiran terhadap munculnya dua sikap yang ekstrim. Pertama adalah
kelompok yang terlampau sangat hati-hati yang kemudian disebut sebagai
"Kelompok Tafrith" Kelompok ini memahami agama murni mengikuti
Rasulillah dan para sahabatnya secara tekstual. Mereka tidak mau
memberikan ta'wil atau tafsir karena kuawatir melampaui batas-batas yang
diperbolehkan. Sedangkan yang kedua yaitu kelompok yang menggunakan
kemaslahatan dan menuruti kebutuhan perkembangan secara berlebihan dan
kelompok ini disebut dengan "kelompok Ifrath"
Dalam berbagai
diskusi dan perdebatan, kelompok kedua ini tidak jarang menggunakan
dalil-dalil manthiqi (deplomasi) dan ta'wil majazi. Pendekatan ini
terpaksa dilakukan dalam rangka memelihara Aqidah dari penyimpangan
dengan menggunakan cara-cara yang dapat difahami oleh masyarakat banyak
ketika itu, namun tetap berjalan diatas manhaj sahaby sesuai dengan
anjuran Nabi dalam sebuah sabdanya : "Kallimunnas Bima Ya'rifuhu Wada'u
Yunkiruna. Aturiiduna ayyukadzibuhumuLlahu wa rasuluh" (Bicaralah kamu
dengan manusia dengan apa saja yang mereka mampu memahaminya, dan
tinggalkanlah apa yang mereka ingkari. Apakah kalian mau kalau Allah dan
Rasul-Nya itu dibohongkan?. Sebuah hadis marfu' yang diriwayatkan oleh
Abu Mansur Al-Dailami, atau menurut Imam Bukhari dimauqufkan kepada
Sayyidina Ali RA.
Strategi dan cara yang begitu adaptif inilah yang
terus dikembangkan oleh para pemikir Ahli Sunnah Wal Jama'ah dalam
merespon berbagai perkembangan sosial, agar dapat menghindari berbagai
benturan antara teks-teks agama dengan kondisi sosial masyarakat yang
berubah-rubah.
Sehubungan dengan strategi ini, mengikuti sahabat
bukanlah dalam arti mengikuti secara tekstual melainkan mengikuti Manhaj
atau metode berfikirnya para sahabat. Bahkan menurut Imam Al-Qorofi,
kaku terhadap teks-teks manqulat (yang langsung dinuqil dari para
sahabat) merupakan satu bentuk kesesatan tersendiri, karena ia tidak
akan mampu memahami apa yang dikehendaki oleh Ulama-ulama Salaf..
(Al-jumud 'Alal mankulat Abadab dhalaalun Fiddiin wa Jahlun Bimaqooshidi Ulamaa'il Muslimin wa Salafil Maadhin)
IV. KEBANGKITAN (AN-NAHDHAH) AHLI SUNNAH WALJAMA'AH
Sebagaimana dinyatakan dimuka, bahwa ASWAJA sebenarnya bukanlah madzhab
tetapi hanyalah Manhajul Fikr (metodologi berfikir) atau faham saja
yang didalamnya masih memuat banyak alaiaran dan madzhab. Faham tersebut
sangat lentur, fleksibel, tawassuth, I'tidal, tasamuh dan tawazun. Hal
ini tercermin dari sikap Ahli Sunnah Wal Jama'ah yang mendahulukan Nash
namun juga memberikan porsi yang longgar terhadap akal, tidak mengenal
tatharruf (ekstrim), tidak kaku, tidak jumud (mandeg), tidak eksklusif,
tidak elitis, tidak gampang mengkafirkan ahlul qiblat, tidak gampang
membid'ahkan berbagai tradisi dan perkara baru yang muncul dalam semua
aspek kehidupan, baik aqidah, muamalah, akhlaq, sosial, politik, budaya
dan lain-lain.
Kelenturan ASWAJA inilah barangkali yang bisa
menghantarkan faham ini diterima oleh mayoritas umat Islam khususnya di
Indonesia baik mereka itu orng yang ber ORMASkan NU, Muhammadiah, SI,
Sarekat Islam maupun yang lainnya.
Wal hasil salah satu
karakter ASWAJA yang sangat dominan adalah "Selalu bisa beradaptasi
dengan situasi dan kondisi". Langkah Al-Asy'ari dalam mengemas ASWAJA
pada masa paska pemerintahan Al-Mutawakkil setelah puluhan tahun
mengikuti Mu'tazilah merupakan pemikiran cemerlang Al-As'ari dalam
menyelamatkan umat Islam ketika itu. Kemudian disusul oleh Al-Maturidi,
Al-Baqillani dan Imam Al-Juwaini sebagai murid Al-Asyari merumuskan
kembali ajaran ASWAJA yang lebih condong pada rasional juga merupakan
usaha adaptasi Ahli Sunnah Wal Jama'ah. Begitu pula usaha Al-Ghazali
yang menolak filsafat dan memusatkan kajiannya dibidang tasawwuf juga
merupakan bukti kedinamisan dan kondusifnya Ajaran ASWAJA. Hatta
Hadratus Syaikh KH. Hasim Asy'ari yang memberikan batasa ASWAJA
sebagaimana yang dipegangi oleh NU saat ini sebenarnya juga merupakan
pemikiran cemerlang yang sangat kondusif.
Bagaimana pilar-pilar
pemikiran KH. Hasyim Asy'ari tentang Ahli Sunnah Wal Jama'ah? Simak dan
telaahlah terjemahan kitab beliau RISALAH AHLI SUNNAH WAL JAMA'AH
berikut ini…………………..
ترجمة
رسالة أهل السنة والجماعة
للعلامة حضرة الشيخ محمّد هاشم اشعرى
MUKADDIMAH / PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala
Puji dan Keagungan senantiasa kita curahkan kepada Dzat yang telah
berfirman di dalam kitabnya Al - Qur'an yang berfungsi sebagai pemberi
penjelasan, ialah Dzat yang paling benar Qoulnya.
هو الذى ارسل رسوله بالهدى ودين الحقّ ليظهره على الدين كله ولوكره المشركون .
“Dialah
Dzat yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang
haq, agar dimenangkannya terhadap semua agama, sekalipun orang-orang
musyrik membencinya”
Rahmad ta’dzim dan keselamatan mudah-mudahan
tetap terlimpah curahkan kepada junjungan kita, nabi yang menjanjikan
syafa’at-nya kepada kita, Rasul yang menjadi wasilah kita untuk menuju
Tuhan, ialah Nabi Muhammad Saw yang telah bersabda :
إنّ اصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمّد وشرالامور محد ثاتها. وكل محدثة بدعة, وكل بدعة ضلالة, وكل ضلالة فى النار.
“Sungguh
sebenar-benarnya hadits / ucapan adalah kitabullah “Al-Qur'an”.
Sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Muhammad Saw, dan
seburuk-buruknya perkara adalah perkara baru yang tidak berdasar agama,
setiap perkara yang baru adalah bid’ah, segala bid’ah adalah
penyimpangan, dan setiap penyimpangan adalah bermuara pada Neraka”.
Risalah
ini adalah merupakan karya besar yang memuat beberapa doktrin ajaran
yang sangat berfaidah, juga beberapa pembahasan yang sangat dibutuhkan
oleh kaum Muslim dalam rangka mengokohkan Aqidah agamanya, agar mereka
masuk dalam bingkai “Firqah al-Najiyah”, golongan yang selamat yakni
“Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah”. Dalam kitab ini penulis melakukan
counter terhadap para ahli Dlolalah / para pembuat bid’ah yang merupakan
sumber dari segala sumber kebohongan.
Dari itulah kitab ini
merupakan “Hujjah”, argumentasi dan dalil, serta penjelasan yang sangat
mendasar bagi kemuliaan kaum muslimin, untuk kemudian dapat mengantarkan
keselamatan dan kebahagiaan mereka, dengan ini pula penulis melakukan
indoktrinasi melalui beberapa aqidah yang benar ‘Ala thariqati Ahli
Sunnah Wal Jama’ah.
Saat ini, kaum muslimin sangat membutuhkan
doktrin-doktrin ajaran yang benar, karena sungguh telah terjadi
pencampuradukan ajaran dikalangan orang-orang yang mulia (para pemegang
otoritas keagamaan) dengan orang-orang awam yang merendahkan martabat
keagamaan, hingga tampak terjadi pembiasan, kesamaran antara yang “Haq”
dan yang “Bathil”. Banyak orang yang bodoh mulai berani maju berfatwa,
padahal wawasan dan pemahaman mereka terhadap kitabullah dan sunnah
Rasulillah SAW. sangat cupet dan kerdil.
Al-Qur'an telah datang
untuk memberi penjelasan segala permasalahan secara detail dan terhindar
dari segala pencampuradukan dan penyimpangan. Dengan demikian sangatlah
memungkinkan dan seharusnya kaum Muslimin dapat terselamatkan dari
kebodohan dan kesesatan, hingga apa yang mereka ucapkan
“Muwafiq”/selaras dengan apa yang mereka perbuat.
Penulis kitab ini
Hadratus Syaikh al – ‘Allamah Muhammad Hasyim Asy’ari, adalah salah
seorang ulama terkemuka Indonesia dan termasuk pencetus berdirinya
jam’iyah Nahdlotul Ulama yakni sebuah Organisasi kemasyarakatan yang
telah dengan konsisten memegangi “Sunnata Khatamin Nabiyyiin”, menjaga
dan membentengi thariqah atau jalan hidup yang telah dibangun oleh
Salafuna al – Sholih.
Mudah-mudahan Allah Swt. melimpahkan segala
kebaikan dan ampunan-Nya kepada beliau, semua orang tua beliau dan
seluruh keturunan beliau. Engkaulah Dzat yang Maha Pengampun.
Mudah-mudahan Allah SWT. memberikan kemanfaatan atas kitab dan keilmuwan
beliau bagi seluruh kaum Muslimin dan menjadikannya sebagai cahaya yang
menghidupkan sunnah Rasulillah Saw.
Demikian, Rahmad Keagungan Allah
Swt mudah-mudahan terlimpah curahkan pada baginda nabi besar Muhammad
Saw, seluruh keluarganya, dan Sahabat-Sahabatnya, wa Alhamdulillah
‘Alamin.
Tebuireng, 1 Rajab 1418 H
Pengantar dari cucu penulis
Muhammad Ishom Hadziq
MUKADDIMAH
Bismillahi al - Rahman al - Rahiem
Segala
puji bagi Allah, “Al – Hamdulillah” sebagai sebuah ungkapan rasa syukur
atas segala anugerah – Nya, Rahmat ta’dzim dan keselamatan
mudah-mudahan terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh
keluarganya. Apa yang akan hadir dalam kitab ini, saya tuturkan beberapa
hal antara lain : Hadits – hadits tentang kematian dan tanda-tanda hari
Qiamat, penjelasan tentang “Al – Sunnah” dan “Al Bid’ah” dan beberapa
hadits yang berisi nasehat-nasehat agama
Kepada Allah Dzat Yang Maha
Mulia kutengadahkan jari – jemari dengan penuh kekhusyu’an, kumohonkan
agar kitab ini memberikan manfaat untuk diri kami dan orang-orang bodoh
semisal kami. Mudah-mudahan Allah menjadikan amal kami sebagai amal
shalihah Liwajhillah al – Kariem, karena Ia-lah Dzat yang Maha dermawan
penuh kasih sayang. Dengan segala pertolongan Allah Dzat yang disembah,
penyusunan kitab ini dimulai.
SEBUAH PASAL
PENJELASAN TENTANG “AL – SUNNAH DAN AL – BID’AH
Lafadz
“Al – Sunnah” dengan dibaca dlammah sinnya dan diiringi dengan tasydid,
sebagaimana dituturkan oleh Imam Al – Baqi’ dalam kitab ‘Kulliyat’-nya
secara etimologi adalah Al – Thariqah, jalan, sekalipun yang tidak
diridloi.
Menurut terminologi syara’ : “Al – Sunnah” merupakan “Al –
Thoriqoh”, jalan atau cara yang diridloi dalam menempuh agama
sebagaimana yang telah ditempuh oleh Rosulillah Saw atau selain beliau,
yakni mereka yang memiliki otoritas sebagai panutan di dalam masalah
agama seperti pada para sahabat R.A.
Hal ini didasarkan pada sabda nabi :
عليكم بسنتى وســنة الخلــفا ء الراشــدين من بعدى
“Tetaplah kalian untuk berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnahnya Al – Khulafaur Rasyidin, setelahku”.
Sedangkan
menurut terminologi Urf adalah pengetahuan yang menjadi jalan atau
pandangan hidup yang dipegangi secara konsisten oleh tokoh yang menjadi
panutan, apakah ia sebagai nabi ataupun wali. Adapun istilah “Al –
Sunny” merupakan bentuk penisbatan dari lafadz “Al – Sunnah” dengan
membuang ta’ marbuthah.
Lafadz “Al – Bid’ah” sebagaimana dikatakan
oleh Al – Syekh Zaruq di dilam kitab “Iddati al – Murid” menurut
terminologi syara’ adalah : "Menciptakan hal perkara baru dalam agama
seolah-olah ia merupakan bagian dari urusan agama, padahal sebenarnya
bukan, baik dalam tataran wacana, penggambaran maupun dalam hakikatnya.
Hal ini didasarkan pada sabda nabi SAW :
من احدث فى امرنا هذا ما ليس مـــــنه فهو رد
“Barang
siapa menciptakan perkara baru didalam urusanku {yakni masalah agama},
padahal bukan merupakan bagian daripadanya, maka hal itu ditolak”
Dan sabda Rasul :
وكل محـــــدثة بدعة
“Dan segala bentuk perkara yang baru adalah bid’ah”
Para
ulama menjelaskan tentang esensi dari makna dua hadits tersebut di atas
yakni, perkara baru yang menjadi bid’ah adalah segala sesuatu yang
dijadikan rujukan bagi perubahan suatu hukum dengan mengukuhkan sesuatu
yang sebenarnya bukan merupakan ibadah tetapi diyakini sebagai konsepsi
ibadah. Jadi bukanlah segala bentuk pembaharuan yang bersifat umum
karena kadang-kadang bisa jadi perkara baru itu berlandaskan dasar-dasar
syari’ah secara asal sehingga ia menjadi bagian dari syari’at itu
sendiri, atau berlandaskan Furu’ al – Syari’ah sehingga ia dapat
dikiaskan atau dianalogkan kepada syari’at.
Al – Syekh Zaruq lantas
membuat tiga ukuran (mizan) dalam hal ini yakni : pertama ; harus
dilihat keberadaan perkara baru tersebut, jika didalamnya didapati
termasuk dalam koridor hukum syari’at dengan dukungan dalil atau dasar
yang mengukuhkannya, maka bukanlah dinamakan bid’ah. Namun bila
didalamnya terdapat beberapa dalil yang tampaknya kontradiktif sehingga
terjadi kesamaran, dan muncul beberapa interpretasi dalam beberapa
pandangannya, maka beberapa pandangan itu harus ditelaah ulang, mana
yang paling unggul untuk dijadikan rujukan dasar.
Pertimbangan kedua
adalah dengan melihat beberapa kaidah-kaidah perundangan yang telah
dibakukan oleh para imam mujtahid dan pengamalan para Salafuna al –
Sholih sebagai tuntunan “Thariqah al – Sunnah”, jika ternyata perkara
itu bertentangan dengan dasar-dasar di atas melalui beberapa
pertimbangan, maka jelas tidak dapat diterima. Namun bila terjadi
kecocokan dalam pandangan kaidah-kaidah perundang-undangan maka dapatlah
diterima, sekalipun dikalangan para Imam Mujtahid sendiri terjadi
perbedaan pendapat baik secara far’ maupun asal. “Segala sesuatu itu
mengikuti pada asalnya berikut dalilnya”, sehingga apapun yang diamalkan
oleh para Salafuna al – Sholih dengan berlandaskan pada kaidah-kaidah
para Imam dan diikuti oleh kelompok Khalaf, maka tidaklah sah bila hal
itu dianggap sebagai “bid’ah madzumah”, dan segala bentuk prilaku yang
tidak dilakukan atau ditinggalkan oleh para Salafuna al – Shalih dengan
kerangka pandangan yang jelas maka tidaklah sah pula hal itu dianggap
sebagai tuntunan atau sunnah, dan bukan pula harus dianggap sebagai
perkara yang terpuji.
Berkaitan dengan suatu dasar yang telah
ditetapkan oleh Salafuna al –Shalih tetapi tidak menjadi prilaku hidup
mereka, maka Imam Malik berpendapat bahwa hal itu dianggap sebagai
bid’ah dengan dalih bahwa mereka tidak akan meninggalkan segala sesuatu
perbuatan apapun kecuali didalamnya ada perintah untuk meninggalkan
perkara tersebut. Imam Al – Syafi’i berpandangan lain, bahwa hal itu
tidaklah dianggap sebagai bid’ah, walaupun Salafuna al – Shalih tidak
mengerjakannya, karena bisa jadi mereka meninggalkan perbuatan tersebut
dikarenakan ada udzur yang menimpa mereka untuk melakukan hal itu pada
suatu waktu, atau mereka meninggalkannya karena ia memilih untuk
melakukan sesuatu yang lebih utama dari ketetapan tersebut. Dan karena
segala bentuk hukum itu bisa jadi diambil atas dasar dzatiah persoalan
terkait, atau dipengaruhi oleh kondisi psikologi dan sosio historis
orang yang mensyari’atkannya.
Para ulama juga berbeda pendapat dalam
menyikapi persoalan yang tidak termasuk dalam kerangka sunnah, namun
tidak ada dalil yang menentangnya bahkan juga tidak ada kesamaran di
dalamnya. Imam Malik menganggap hal itu sebagai bid’ah, dan Imam Syafi’i
menyatakan hal itu bukanlah bid’ah. Dalam hal ini Imam Syafi’i
berlandaskan pada sebuah hadits :
ما تركته لكم فهو عفو
“Segala sesuatu yang aku tinggalkan karena belas kasihan terhadap kalian semua adalah diampuni”
Syekh
Zaruq berpandangan bahwa : berkaitan dengan mizan yang kedua ini,
beliau mencontohkannya dengan terjadinya perbedaan pandangan diantara
para ulama tentang hukumnya membuat kepengurusan jamiyyah, membaca
dzikir dengan keras, dan melangsungkan do’a bersama. Karena didalam
hadits ada semacam support atau al – Targhib di dalam hal ini, sekalipun
Salafuna al – Sholih tidak melakukannya sehingga dengan hal ini
tidaklah setiap orang yang menyepakati hal itu dianggap sebagai pembuat
bid’ah dalam pandangan orang yang berpendapat lain, jika ternyata
pendapat tersebut bertolak belakang dengan dalil-dalil hukum yang
diambil sebagai hasil ijtihadnya, selagi tidak melampui batas wilayah
yang diperkenankan baginya. Dan tidaklah sah pula perkataan seseorang
yang memiliki pendapat berbeda itu dipergunakan untuk membatalkan
pendapat lain yang bertolak belakang karena adanya kesamaran dalam
memproses kesimpulan hukumnya. Bila dalam persoalan ini dilegalkan
segala bentuk upaya pembatalan pendapat orang lain, maka yang terjadi
adalah klaim pembid’ahan terhadap seluruh prilaku umat.
Sebagaimana
telah diketahui bahwa sesungguhnya hukum Allah Ta’ala dalam kerangka
yang bersifat ijtihadiyah dan pada wilayah furu’iyah, bagi seorang
mujtahid akan sangat memungkinkan untuk dimunculkan ijtihad baru, baik
hasil ijtihad baru itu mendapatkan pembenaran dari hanya seorang saja
atau lebih.
Rasulullah Saw bersabda :
لايصلين احد العصر إلا فى
بنى قربيظة فادركهم العصرفى الطـريق ,فقال بعضهم امرنا بالعجلة وصلوا فى
الـريق وقال أخرون : امرنا بالصلاة هناك فاخروا ولم يعب صلى الله عليه
وسلّم على واحد منهم.
“Sungguh seseorang tidak akan dapat
melaksanakan sholat fardu Ashar kecuali diperkampungan Bani Quradloh,
lantas para sahabat mendapati masuknya waktu sholat Ashar ketika masih
diperjalanan, sebagian dari mereka berkata : kita diperintahkan untuk
bergegas (dalam melakukan / mendirikan sholat) dan mereka melakukan
sholat diperjalanan. Sebagian dari sahabat yang lain berkata : kita
diperintahkan untuk melakukan sholat di sana (perkampungan Bani
Quraidloh), lantas mereka mengakhirkan sholat, dan Rasulullah Saw. tidak
mencaci maki kepada salah seorangpun diantara mereka”.
Sikap
Rasululah yang sedemikian begitu menyejukkan, dan menunjukkan keabsahan
untuk melakukan sesuatu amal sesuai dengan apa yang dapat mereka pahami
dari sabda Nabi sebagai Al – Syari’, sumber persyari’atan, karena
pemahaman tersebut tidaklah dilandasi oleh hawa nafsu.
Mizan yang
ketiga adalah pertimbangan yang bersifat membedakan yang didasarkan pada
beberapa kriteria hukum yang otentik, hal ini akan bersifat tafsili,
atau terperinci. Dengan mizan ini sebuah persoalan akan dapat
diklasifikasikan dalam enam bentuk hukum syari’at yakni : wajib, sunnah,
haram, makruh, khilaful aula dan mubah. Segala bentuk persoalan itu
diilhaqkan dengan dalil tersebut, dan jika tidak memiliki dalil maka
dapatlah dikatakan sebagai bid’ah. Melalui mizan ini, banyak dari hukum
yang kemudian mengistilahkan identitas hukum dari sebuah persoalan
tersebut dengan bid’ah wajibah, nadbiah, tahrimah, karohah, khilafal
aula dan bid’ah ibadah tetapi hanya dalam istilah kebahasaan saja untuk
memberikan kemudahan.
والله اعلم” ”
Lebih spesifik lagi Syekh
Zaruq membagi bid’ah kedalam tiga kelompok yakni Bid’ah Shorihah yaitu
suatu persoalan yang ditetapkan tanpa berlandaskan dalil syari’ dan
tidak mencocoki pada sebuah masalah yang telah mendapatkan ketetapan
hukum syara’ apakah wajib, sunnah, mandub atau yang lainnya. Bid’ah ini
pada akhirnya membunuh potensi sunnah dan membatalkan perkara yang haq,
bentuk ini adalah seburuk-buruknya bid’ah, meskipun daripadanya
dikemukakan sejumlah alasan pada kerangka usul maupun furu’ tetaplah
tidak dapat mempengaruhi keshorihan bid’ah-nya. Kedua “Al – bid’ah al –
Idlofiyah” yaitu bid’ah yang disandarkan pada sebuah perintah dimana
bila perintah itu diterima sebagai sandaran bid’ah tersebut maka
tidaklah sah terjadinya saling mempertentangkan keberadaan perkara
tersebut, apakah sebagai sunnah ataupun bid’ah tanpa perselisihan
sebagaimana tersebut di muka.
Ketiga, Al – Bid’ah al – Khilafiyah,
yaitu bid’ah yang dilandasi oleh dua dalil yang saling tarik menarik
diantara keduanya, disatu sisi dia berkata : ini didasarkan pada sumber
ini, dan pendapat yang lain menyatakan bid’ah, dan ia menyangkal
dengan dalil yang bertolak belakang, dan ia menyatakan sunnah,
sebagaimana contoh kasus di atas yakni tentang membuat kepengurusan
jam’iyyah atau majlis dzikir dan do’a bersama.
Al – ‘Allamah Imam
Muhammad Waliyuddin al – Syibtsiri dalam Syarah Al – Arba’in al –
Nawawiyah memberikan komentar atas sebuah hadits nabi :
من احدث حدثا او آوى محــــدثا فعلــيه لعــنة الله
“Barang
siapa membuat persoalan baru atau mengayomi atau setidaknya mendukung
seseorang yang membuat pembaharuan, maka ditimpakan kepadanya laknat
Allah”.
Masuk dalam kerangka interpretasi hadits ini yaitu berbagai
bentuk transaksi/akad-akad fasidah, menghukumi dengan kebodohan,
berbagai bentuk penyimpangan terhadap ketentuan syara’ dan lain-lain.
Keluar dari bingkai pemahaman terhadap hadits ini yakni segala hal yang
tidak keluar dari dalil syara’ terutama yang berkaitan dengan
masalah-masalah ijtihadiyah dimana tidak terdapat korelasi yang tegas
antara masalah-masalah tersebut dengan dalil-dalilnya kecuali sebatas
dhon, persangkaan mujtahid. Seperti menulis Mushaf, meluruskan
pendapat-pendapat Imam madzhab, menyusun kitab Nahwu, ilmu hisab dan
lain-lain. Karena itulah Imam Ibnu Abdi al - Salam membagi
perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang lima. Beliau
lantas membuat batasan ; “Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak
disaksikan dizaman Rasulullah Saw, apakah beridentitas wajib seperti
mengajar ilmu Nahwu, dan mempelajari lafadz-lafadz yang ‘gharib’ (jarang
ditemui dan maknanya sulit dipahami), baik yang terdapat didalam
Al-Qur'an ataupun Al- Sunnah dimana pemahaman terhadap syari’ah menjadi
tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya,.
ataupun berstatus haram seperti paham madzhab Qodariah, Jabariah dan
Majusiah, atau juga berstatus mandlubah seperti memperbaharui sistem
pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga segala bentuk
kebaikan yang tidak disaksikan pada zaman generasi pertama Islam. Dan
bid’ah yang berstatus makruhah seperti menghiasi Masjid dan memperindah
Mushaf, bid’ah yang beridentitas Mubahah seperti bersalam-salaman atau
mushofahah setelah sholat Shubuh dan Ashar, berlebih-lebihan dalam
menyajikan menu-menu makanan dan minuman yang serba nikmat,
bernecis-necis dalam berpakaian , dan lain-lain.
Setelah kita
mengetahui apa yang telah dituturkan di muka kita tahu bahwa adanya
klaim bahwa ini adalah bid’ah, seperti memakai tasbih, melapatkan niat,
tahlilan ketika kirim do’a dan sedeqah setelah kematian karena tidak ada
larangan untuk bersedeqah, menziarahi makam dan lain–lain, maka
kesemuanya bukanlah merupakan bid’ah. Dan sesungguhnya perkara-perkara
baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar – pasar
malam, bermain undian pertunjukan tinju, gulat dan lain-lain adalah
termasuk seburuk- buruknya bid’ah.
PASAL
MENJELASKAN TENTANG :
BAGAIMANA MASYARAKAT JAWA BERPEGANG TEGUH PADA MADZHAB “AHLI AL – SUNNAH WA AL – JAMA’AH”
TENTANG KAPAN LAHIRNYA BID’AH DAN PENYEBARANNYA DITANAH JAWA
TENTANG MACAM-MACAM PERILAKU AHLI BID’AH YANG TERJADI DI ZAMAN INI.
Masyarakat
Muslim di pulau Jawa tempo dulu memiliki pandangan dan madzhab yang
sama, memiliki satu reverensi dan kecenderungan yang sama. Semua
masyarakat Jawa ketika itu menganut dan mengidolakan satu madzhab yakni
Imam Muhammad bin Idris Al- Syafi’i dan didalam masalah teologi atau
aqidahnya mengikuti madzhab Imam Abu Hasan al – Asy’ari dan di bidang
Tasawuf mengikuti madzhab Imam al – Ghazali dan Imam Abi al – Hasan al –
Syadili, Rodiallahu ‘Anhum ‘Ajma’in.
Pada perkembangan selanjutnya
di tahun 1330 H. muncul beberapa golongan yang bermacam-macam, dan mulai
timbul berbagai pendapat yang saling bertentangan, isu yang bertebaran,
dan pertikaian dikalangan para pemimpin. Diantara mereka ada yang
beraviliasi pada kelompok Salafiyyin, golongan Tradisional yang tetap
eksis berpegang teguh pada doktrin ajaran yang diinginkan Salafuna al –
Shalih , bermadzhab kepada satu madzhab tertentu, berpegang kepada
kitab-kitab mu’tabarah yang beredar, mencintai ahlul bait, para wali dan
orang-orang yang sholih, mengharap berkah mereka baik yang masih hidup
maupun yang telah wafat, melakukan ritus ibadah berupa ziarah kubur,
mentalqin mayit, shadaqah untuk mayit dan menyakini adanya syafaat atau
pertolongan, kemanfaatan doa, mengerjakan tawassul dan lain-lain.
Sebagian
dari masyarakat kita terdapat kelompok yang mengikuti pendapat Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridlo, yang menyepakati pendapat yang menyatakan
bidahnya beberapa hal diatas sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab al
– Nadji dan Ahmad bin Taimiyah dan dua muridnya yakni Ibnu al-Qoyyim
dan Ibnu Abdi al – Hadi, kelompok kedua ini secara tegas mengharamkan
apa yang telah menjadi kesepakatan kaum muslimin sebagai bentuk ibadah
sunnah, yakni pergi untuk menziarahi makam Rasulullah SAW. Firqoh ini
secara terus menerus melakukan penentangan keras terhadap kaum muslimin
atas rutinitas yang mereka jalankan.
Imam Ibnu Taimiyah berkata di
dalam kitab Fatawinya : “Ketika seseorang itu bepergian untuk ziarah,
dan ia menyakini bahwasanya menziarahi makam Rasulillah Saw itu adalah
merupakan perbuatan taat, maka hal itu diharamkan menurut Ijma atau
konsensus para ulama'. Konsekwensi dari pengharaman ini diharapkan
menjadi sesuatu yang mampu memutuskan aktifitas tersebut. Al – ‘Allamah
Syaikh Muhammad Bakhit al – Hanafi al – Mut’i di dalam kitab risalahnya
yang berjudul “Thahiru al – Fuad min Danasi al – ‘I tiqod” mengatakan :
Kehadiran firqoh atau sekte-sekte pemecah belah ini memberikan cobaan
tersendiri pada mayoritas kaum muslimin baik mereka yang salaf, kelompok
tradisionalis maupun generasi khalaf, atau kelompok modernis, sehingga
kaum muslimin ketika itu semacam tertimpa musibah keretakan dan
perpecahan dikalangan mereka. Ibarat anggota tubuh terkena penyakit yang
menular, kemudian ia harus memotongnya agar tidak menjalar atau menular
pada anggota tubuh yang lain. Firqoh ini seolah-olah seperti penyakit
lepra yang harus kita hindari sejauh mungkin.
Sungguh sekte ini
merupakan segolongan kaum Muslim yang mempermainkan agama mereka
sendiri, mereka mencaci maki para ulama salaf dan Khalaf, kelompok agama
yang mempermainkan agama ini berkata : "Mereka semua para ulama adalah
bukanlah orang-orang yang ma’sum, tersucikan, terhindar dari kesalahan
dan dosa, maka tidaklah selayaknya untuk taqlid kepadanya, sama saja
apakah mereka saat ini masih hidup ataukah sudah wafat". Selalu saja
mereka mencaci maki para ulama dan mengobarkan shubhat, mereka
sebarluaskan kesamaran tersebut dihadapan dhu’afa, dan mereka berupaya
untuk membutakan pandangan orang-orang yang lemah agamanya tersebut atas
diri mereka. Kesemuanya itu dimaksudkan untuk mengobarkan permusuhan
dan saling membenci, mereka berusaha mencari simpati dan popularitas
sehingga dengan leluasa mereka dapat berbuat kerusakan di muka bumi.
Mereka berkata : “Kebohongan harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah
SWT”, padahal mereka semua mengetahui, bahwa apa yang mereka katakan
adalah untuk mengelabuhi masyarakat awam, agar orang – orang awam ini
menyangka bahwa merekalah orang – orang yang mengemban tugas Amar
Ma’ruf Nahi Mungkar, merekalah orang – orang yang senantiasa memotivasi
dan meyakinkan kepada manusia untuk tetap mengikuti syara’ dan menjauhi
bid’ah”. Berkaitan dengan ini Allahlah Dzat yang menjadi saksi bahwa
sesungguhnya sekte inilah yang pada hakikatnya merupakan komplotan
orang-orang yang menempuh jalan bid’ah dan menuruti hawa nafsu.
Al-Qodli
‘Iyad di dalam kitab Al – Syifa’ berkata : Kerusakan yang terbesar
akibat ulah firqah ini adalah terjadinya distorsi pemahaman agama, dan
kerusakan itupun merambah ke dalam persoalan-persoalan dunia sebagai
akibat dari provokasi mereka terhadap kaum muslimin untuk bersengketa di
dalam masalah agama yang kemudian merambat ke dalam urusan-urusan
dunia.
Imam Al–‘Allamah Mulla’uddin’Aly al–Qariy mengisyaratkan problematika ini di dalam kitab syarahnya :
وقد حرم الله تعالى الخمر والميسير لهــذه العلة قال تعالى : انما يريد الشيطان ان يوقع بينكم العداوة والبضاء فى الخمر والميسر
“Sungguh
Allah Ta’ala mengharamkan khomer dan perjudian karena alasan ini,
sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah : Sesungguhnya Syaitan
bermaksud untuk mendatangkan sikap permusuhan dan saling membenci
diantara kalian semua melalui khomer dan perjudian.”
Termasuk dalam
katagori gerakan baru yang muncul di pulau Jawa adalah sekte Syi’ah
Rafidloh, yakni golongan yang mencela sahabat Abu Bakar al – Shiddiq
dan Sayyidina Umar Bin Khattab RA, golongan ini juga membenci para
sabahat RA, dan berlebih-lebihan dalam mencintai dan fanatik terhadap
Sayyidina Ali RA dan Ahli bait. Sayyid Muhammad Di dalam syarah Al –
Qomus al – Munith berkata : sebagian dari mereka telah beridentitas
sebagai kafir Zindiq, mudah-mudahan Allah menjaga kita dan kaum Muslimin
semuanya.
Al – Qodli ‘Iyad di dalam kitab Al – Syifa’ juga
meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Mughoffah RA ia berkata,
Rasulullah SAW. bersabda :
الله الله فى اصحابى لا تتخذوهم غرضا بعدى ,
فمن احبهم فبحبى أحبهم, ومن ايغضهم فببغضى ابغضهم, ومن اذاهم فقد
اذآنى, ومن اذانى فقد اذى الله ومن اذى الله يوشك ان يأخـذه
“Takutlah
kalian semua kepada Allah SWT, takutlah kalian semua kepada Allah SWT
dan berhati – hatilah kalian semua dalam menyikapi para sahabatku,
mudah-mudahan Allah memberikan penjagaan kepada para sahabatku,
janganlah kalian semua bermaksud buruk dan menganiaya mereka setelah
kematianku. Barang siapa mencintai mereka maka dengan sepenuh hati aku
mencintainya, Barang siapa membenci mereka maka dengan segala
kebencianku pula aku membencinya. Barang siapa membenci dan menyakiti
mereka berarti ia menyakitiku, barang siapa menyakitiku maka berarti
menyakiti Allah, dan barang siapa menyakiti Allah maka bersiaplah untuk
menerima adzhab Allah".
Dan Rasulullah Saw bersabda :
لاتسـبوا اصحابى فانه يجئ قوم فى أخرالزمان يسـبون اصحـابى.
فلا تصلوا عليهم ولا تصلوا معهم ولاتناكحوهم ولا تجالسوهم,
فان رضوا فلاتعودوهم
“Janganlah
kalian semua mencaci maki para sahabatku, karena sesungguhnya akan
datang di akhir zaman nanti, sekelompok kaum yang mencela
sahabat-sahabat ku, maka janganlah kalian semua mensholati janazah
mereka, janganlah kalian semua sholat bersama mereka, janganlah kalian
semua menjalin pernikahan dengan mereka. Jangan pula kalian berdiskusi
bersama mereka, jika mereka sakit, maka jangan jenguk mereka”.
Dan dari Rasulullah Saw. Beliau bersabda :
من سب اصحابـى فاضربـوه
“Barang siapa mencela sahabat-sahabatku maka bunuhlah dia”
Pernyataan
keras nabi ini menjelaskan kepada kita bahwa siapa saja yang menyakiti
para sahabatnya maka berarti ia menyakiti nabi, dan menyakiti nabi Saw
adalah haram”.
Rasulullah Saw bersabda :
لاتؤذونى فى اصحابى ومن اذاهم فقد اذانى, وقال لاتؤذونى فى العائشة, وقال فى فاطمة رضى الله عنها بضعة منى يؤذينى مااذاها
“Janganlah
kalian semua menyakitiku melalui para sahabatku, barang siapa menyakiti
sahabat-sahabatku berarti ia menyakitiku, dan nabi juga bersabda,
jangalah kalian menyakitiku dengan cara menyakiti Aisyah dan nabi
bersabda pula ; janganlah pula dengan cara menyakiti diri Fatimah RA
karena ia adalah keratan darah dagingku, menyakitiku segala yang
menyakitkan dirinya”
Muncul juga sekelompok kaum yang lantas disebut
sebagai sekte “Abahiyyun” yakni golongan yang memperkenankan untuk
melakukan apa saja yang disukai, mereka berkata : “Sesungguhnya seorang
hamba, ketika ia telah sampai kepada puncak rasa cintanya, dan hatinya
telah suci dan terbersihkan dari sifat lupa, dan dia telah memilih iman
daripada kufur dan kekufuran, maka gugur dan terbebaskanlah ia dari
tuntutan perintah dan larangan. Dan tidaklah Allah akan memasukkannya ke
neraka sebab melakukan dosa-dosa besar”.
Sebagian dari mereka juga
berkata : “Bagi seorang hamba yang telah sampai pada puncak posisi
mahabbah, maka gugurlah baginya kewajiban untuk melaksanakan
ibadah-ibadah yang dlohir, maka yang menjadi substansi ibadahnya adalah
bertafakkur dan mempercantik akhlaq batiniahnya”. Syayid Muhammad di
dalam syarah ihya’ – nya berkata : Pernyataan ini adalah kufur zindik
dan kesesatan, tetapi golongan Abahiyyun ini memang sudah ada sejak
zaman dulu, penganutnya adalah orang-orang bodoh dan sesat mereka tidak
memiliki pemimpin yang mengerti tentang ilmu syari’at sebaagimana
layaknya.
Muncul pula aliran yang lantas memproklamirkan diri sebagai
“Tanasukhil al – Arwah” kelompok yang mengaku sebagai titisan ruh-ruh
yang selalu berpindah-pindah selama-lamanya dari satu jasad seseorang ke
jasad yang lain baik sejenis maupun berlainan jenis. Mereka menyangka
bahwa siksaan dan kenikmatan yang dirasakan oleh Arwah tersebut
didasarkan atas pertimbangan bersih dan kotornya arwah tersebut. Imam
al-Syihab al-Khofaji di dalam syarahnya kitab Al-Syifa’ berkata :
“Sungguh ahli syari’ telah mengkafirkan mereka karena muatan
pendapat-pendapatnya ternyata melakukan pembohongan terhadap Allah,
Rasul nya, dan kitab suci - Nya”.
Sebagian lagi ada yang menganut
ajaran Hulul dan Ittihad, mereka adalah orang-orang yang menjalankan
tasawufnya dengan kebodohan, mereka berkeyakinan bahwa Allah swt. adalah
wujud yang mutlak. Sesungguhnya selain dari pada Allah tidaklah ia
memiliki sifat Al-Wujud sama sekali, sehingga bila dikatakan “Al-Insanu
Maujudun” maka makna yang dikehendaki adalah bahwa manusia itu memiliki
hubungan dengan Al – Wujud al – Mutlaq yakni Allah Ta’ala. Al –
‘Allamah al – Amir di dalam kitab Hasyiyah-nya Imam Abdi al-Salam,
beliau berkata : Ucapan dengan interpretasi di atas, merupakan kufur
yang shorih, karena tidaklah mungkin terjadi yang namanya hulul dan
ittihad. Bila hal tersebut benar terjadi pada diri para pembesar wali
maka kejadian itu harus dita’wili dengan sesuatu yang cocok dengan
kondisi dan derajat kewalian mereka. Sebagai mana faham Wahdati al –
Wujud yang mereka anut. Seperti ucapan mereka
ما فى الجبة ا لا
الله “(Tidak ada di dalam jubah ini kecuali Allah
)” Mereka menghendakinya dengan makna bahwa apa
saja yang ada di dalam jubah bahkan apapun yang wujud di dalam seluruh
alam ini, tidaklah ia terwujud kecuali atas kehendak Allah, Syaikh
Muhammad al – Safarini berkata di dalam kitab “Lawaaihu al – Anwar” :
“Sebagian dari tanda sempurnanya kema’rifatan adalah kemampuan seorang
hamba untuk menyaksikan Tuhannya”.
Setiap ‘Arif (orang yang
ma’rifat) selama ia masih menafikan pengetahuan atas Tuhannya pada waktu
apapun maka bukanlah ia dinamakan sebagai ‘Arif tetapi hanya disebut
sebagai ‘Shohibul haali’ dimana ‘Syuhudihi Robbahu’- nya, (penyaksiannya
terhadap realitas tuhannya) hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu
saja. Nah, keberadaan Shohibul haali ini sama dengan orang yang mabuk,
dimana pengetahuan spiritualnya belumlah cukup mengukuhkan eksistensinya
sebagai seorang ‘Arif.
Menjadi jelaslah bahwa apa yang dimaksud
dengan Wahdati al – Wujud dan Al – Ittihad dalam madzhab tasawuf
adalah bukanlah hanya sekedar menggunakan parameter apa yang dhohir saja
atau atas dasar persangkaan belaka. Dengan demikian pernyataan/statemen
para penyembah berhala yang mengatakan bahwa : “Kita tidak menyembah
berhala ini kecuali hanya menjadikannya sebagai lantaran agar kita dapat
mendekatkan diri kepada Dzat Allah”. Bagaimana mungkin pelaku
sedemikian (Wahdati Al-Wujud) dianggap sebagai orang-orang yang ma’rifat
(‘Arifin). Padahal makna yang subtansial dari ittihad itu sendiri
adalah sebagaimana dikatakan oleh Al-‘Aarif :
وعلمك أن كل أمر امر ى هو المعنى المسمـى بالا تحـاد
“Pengetahuan anda atas segala sesuatu adalah urusan saya, inilah makna yang sesungguhnya dinamakan sebagai Al-Ittihad.”
Untuk
itu jelaslah bahwa setiap umat Islam memiliki kemampuan dan kesempatan
untuk meraih maqom ini walaupun pada tingkat yang berbeda-beda.
Sengaja
saya membahas secara panjang lebar terhadap sekte/golongan ini, karena
saya menyaksikan bahwa golongan inilah yang sesungguhnya paling
membahayakan terhadap kaum Muslimin dibandingkan bahaya yang dimunculkan
oleh kaum kafir dan mubtadi’in, para ahli bid’ah. Karena mayoritas
manusia mengagungkan golongan ini dan begitu antusiasnya ia mendengarkan
fatwa-fatwa mereka dengan ketidak mengertiannya terhadap uslub-uslub
atau gramatika bahasa arab.
Imam Asmu’i meriwayatkan sebuah hadits dari Imam Kholil dari Abi ‘Amrin bin A‘la’, beliau berkata :
اكثرمن تزندق بالعراق لجهله بالعر بية وهم باعتقاده الحلول والانحاد كفرة
“Kebanyakan
orang yang kafir zindik dari penduduk Irak adalah disebabkan oleh
ketidakmengertian mereka terhadap literatur Arab mayoritas dari mereka
menjadi kufur karena keyakinan mereka yang salah terhadap pemahaman
Hulul dan Ittihad”.
Qodli ‘Iyadh didalam kitabnya Al – Syifa’
mewanti-wanti : Sesungguhnya setiap bentuk perkataan yang secara sharih,
terang-terangan menafikan atau menghilangkan sifat ketuhanan dan ke
Maha Esaannya, melakukan penyembahan terhadap selain Allah atau
mempersekutukan Allah pada sesembahannya adalah merupakan bentuk
kekufuran yang nyata. Seperti juga ucapan-ucapan yang dikeluarkan oleh
Kaum Duhriyah, Nasrani, Majusi, dan orang-orang yang mempersekutukan
Allah dengan menyembah berhala, Malaikat, Syetan, Matahari,
bintang-bintang, dan menyembah api ataupun selain daripada Allah.
Demikian juga kekufuran itu terjadi pada orang-orang yang menyakini
adanya “hulul” (menempatnya Dzat Allah pada diri makhluk) dan terjadinya
“Al - Tanasukh” (Ruh Allah SWT menitis pada diri seorang hamba).
Kekufuran
itu dapat pula terjadi pada orang yang mengakui ketuhanan Allah dan
ke-Maha Esaannya tetapi ia menyakini bahwa Allah tidaklah hidup atau
bukanlah Dzat yang Qadim (terdahulu), atau sesungguhnya Allah adalah
dzat yang hadits (baru datang) dan memiliki bentuk, atau menyangka bahwa
Allah memiliki anak istri, dan bahkan ia terlahirkan dari sesuatu yang
maujud sebelum-Nya, atau sesungguhnya ada sesuatu selain Allah yang
menyertai-Nya di zaman Azali, atau menyakini bahwa ada Dzat lain selain
Allah yang menciptakan dan mengatur alam ini. Semua keyakinan dan
anggapan sebagaimana disebut di atas merupakan bentuk kekufuran menurut
ijma’ kaum muslimin.
Demikian juga kekufuran itu terjadi pada
seseorang yang menganggap dirinya dapat duduk bersama Allah,
menyertai-Nya naik ke Arasy, berbincang-bincang dengan-Nya dan meyakini
dapat menyatunya Dzat Allah pada diri seseorang sebagaimana yang
difahami oleh sebagian kaum Tasawuf, aliran kebatinan dan orang-orang
Nasrani.
Termasuk bentuk kekufuran yang lain adalah : seseorang yang
menyakini sifat ketuhanan dan ke Maha Esaan Allah tetapi ia menentang
pokok-pokok kenabian secara umum atau konsepsi-konsepsi kenabian kita
Muhammad Saw secara khusus. Atau salah satu dari para nabi, dimana hal
itu terjadi setelah ia mengetahui konsepsi – konsepsi nash – Nya, maka
tanpa keraguan ia dihukumi kafir. Demikian pula menjadi kafir
seseorang yang menyatakan bahwa Nabi kita Muhammad Saw adalah bukanlah
ia yang berdomisili di Makkah dan Hijaz.
Kekufuran itu juga akan
terjadi sebab beberapa hal berikut ini, antara lain : Seseorang yang
mengakui terutusnya nabi yang lain bersamaan dengan kenabian nabi
Muhammad SAW atau masih akan ada nabi lagi setelah kenabian nabi
Muhammad SAW juga seorang yang mengklaim bahwa kenabian Muhammad Saw
adalah hanya dikhususkan untuk kalangan atau golongannya sendiri (bukan
Nabi yang Rahmatan lil ‘alamin). Demikian juga terjadi kekufuran apa
bila ada seorang yang kondang sebagai ahli tasawwuf, tetapi hingga
kebablasan ia menyatakan diri bahwa ia menerima wahyu dari Allah Ta’ala
walaupun ia tidak sampai mengaku-aku menjadi Nabi. Imam Yusuf al –
Ardhabili di dalam kitab “Al – Anwarnya” memberikan pernyataan yang
tegas bahwa : Dapatlah dipastikan kekafiran itu terjadi pada setiap
orang yang mengucapkan suatu perkataan yang sebab ucapan itu umat
menjadi terjerumus pada lembah kesesatan, apalagi bila sampai
meng-kafirkan sahabat, termasuk juga setiap orang yang melakukan
perbuatan dimana pekerjaan itu tidaklah muncul atau bersumber kecuali
dari orang-orang kafir seperti sujud pada salib atau menyembah api, atau
pergi menuju ke gereja-gereja bersama pengikut-pengikut gereja dengan
mengenakan atribut-atribut yang juga dipakai oleh ahli-ahli gereja
seperti memakai ikat pinggang atau yang lainnya. Demikian juga ia yang
mengingkari eksistensi Makkah, Ka’bah, ataupun Masjidil Haram bilamana
hal itu muncul dari seorang yang menurut pandangan kita ia sebenarnya
tau dan memahami bahwa kenyataannya pergaulan mereka adalah dengan
orang-orang Islam.
PASAL
MENJELASKAN TENTANG KHITTAH
Kembali
pada ajaran “Al – Shalaf al - Shalih ” menjelaskan maksud dari kelompok
yang disebut dengan “Sawad al – A’dham” di era ini dan pentingnya
berpegang teguh pada salah satu madzhab yang empat.
Dengan
memahami apa yang telah saya kemukakan di atas, kita menyadari bahwa
sesungguhnya kebenaran yang haqiqi itu berpihak pada kalangan “Al –
Salafiyah” generasi terdahulu yang konsisten dan survive mengugemi
nilai-nilai ajaran agama yang telah dibangun oleh ulama Al - Salaf
al – Shalih merekalah yang oleh Rasulillah sendiri beliau
identifikasi sebagai Al - Sawadu al - A’dham (golongan mayoritas)
yakni mereka yang cocok dan menyepakati konsepsi-konsepsi agama yang
ditetapkan oleh ulama-ulama Makkah, Madinah dan ulama-ulama Al – Azhar
yang mulia, kesemuanya adalah menjadi panutan kelompok ahli al – Haq,
sayangnya sulit sekali atau bahkan hampir tidaklah mungkin melakukan
penelitian dan pelacakan secara seksama terhadap setiap persoalan dari
sejumlah ulama-ulama ini. Karena kemasyhuran dan menyebarnya tempat
domisili mereka diberbagai daerah. Dan tidak mungkin pula dapat
menghitungnya karena keberadaan mereka sebagaimana bintang gumintang di
langit.
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah haditsnya :
ان
الله لا يجتمع أمتى على ضلالة. ويدالله على الجماعة من شذ شذ إلى النار ,(
رواه الترمذ ي ) زاد ابن ماجاه: فإذا وقع الاختلاف , فعليك بالسواد
الاعظم مع الحق واهل
“Sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan jaminan bahwa umatnya tidaklah
akan bersekongkol untuk menyepakati kesesatan, keberpihakan Allah adalah
pada Al – Jama’ah, barang siapa yang menyimpang dari konsensus
mayoritas berarti bahwa ia mengasingkan diri menuju neraka”. (HR. Al –
Turmudzi) Imam Ibnu Majah menambahkan : “Bila terjadi perselisihan maka
pegangilah keputusan yang diambil oleh “Al – Aswad al - A’dham”
(kelompok mayoritas) dengan segala komitmen atas kebenaran mereka”
Didalam kitab “Al – Jami’ Al – Shagir” disebutkan :
إن الله قد اجار أمـتى أن تجتـمع على ضــلالة
“Sesungguhnya Allah telah menyelamatkan umatku dari segala bentuk persekongkolan atas perbuatan sesat”
Mayoritas
dari mereka yang konsisten memegangi kebenaran (Ahli al - Haq) adalah
mereka yang menjadi pengikut Imam Madzhab yang empat “Al-Madzzhab
al-Arba’ah”, mengapa demikian ? kita tahu bahwa Imam Bukhori adalah
bermadzhab Syafi’iy beliau meriwayatkan hadits dari Imam Humaidiy, Al –
Za’faroniy, dan Imam Karobi’isiy, demikian juga Imam Ibnu Khuzaimah dan
Imam Nasa’i. Demikian pula pada beberapa Imam/Muhaddits yang lain yakni :
Imam Al-Syibi adalah pengikut madzhab Malikiy, Imam Mahaasibi adalah
bermadzhab Syafi’iy. Imam Al – Jariry merupakan Penganut setia Imam
Hanafiy. Syaikh Abdul Qadir al – Jailani bermadzhab Hambaliy, Imam Abu
Hasan Al – Syadhili pengikut madzhab Malikiy, dan dengan mengikuti
satu madzhab tertentu akan lebih dapat terfokus pada satu nilai
kebenaran yang haqiqi, lebih dapat memahami secara mendalam dan akan
lebih memudahkan dalam mengimplementasikan amalan. Dengan menentukan
pada satu pilihan madzhab inilah berarti ia telah pula melakukan jalan
yang juga ditempuh oleh ‘Al – Salaafuna al – Shaalih’, mudah-mudahan
keridloan Allah terlimpah curahkan pada mereka semua, Amin.
Kita
sebagai kelompok awam dari mayoritas kaum muslimin harus membulatkan
tekad untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah swt. Haqqo al - Taqwa, dan
senantiasa berharap agar nantinya kita semua tidak mati meninggalkan
dunia yang fana ini kecuali tetap mengugemi agama Islam, kita sepakat
untuk senantiasa berdamai dan melakukan rekonsiliasi dengan mereka atau
siapa saja yang berselisih. Merekatkan tali persaudaraan, bersikap dan
berperilaku baik terhadap semua tetangga, kerabat dan seluruh teman,
dapat memahami dan melaksanakan hak-hak para pemimpin, bersikap santun
dan belas kasihan terhadap kaum dlu’afa’ dan kalangan wong cilik.
Kita
berusaha mencegah mereka dari segala bentuk permusuhan, saling
benci-membenci, memutuskan hubungan, hasut-menghasut, sekterianisme dan
memebentuk sekte-sekte baru yang mengkotak-kotakkan Agama, kita
menghimbau pada mereka semua untuk bersatu, bersahabat, tolong menolong
dalam kebaikan, berpegang teguh pada agama Allah yang kokoh, dan
menghindari perpecahan (Dis integrasi). Hendaknya kita tetap eksis
berpedoman pada Al – Kitab , Al – Sunnah , dan apa saja yang menjadi
tuntunan para ulama’, panutan umat yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik
bin Anas, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal Ra. Merekalah ulama
yang mujma’ alaih, Sah untuk diikuti dan dilarang keluar dari
madzhab-madzhab mereka. Hendaknya kita juga berpaling dari segenap
bentuk organisasi – organisasi baru yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasar yang dibangun oleh ‘Al – Salaf al – Sholihin’.
Rasulullah Saw. bersabda :
من شــذّ ســذّ على الــنّار
“Barang siapa yang menyimpang (keluar dari Al - Jamaah ) berarti ia mengungsikan dirinya ke beraka.”
Untuk itu hendaknya kita tetap konsisten memegangi ‘Al – Jamaah’ (organisasi Aswaja) ‘alaa thariqati Al – Salaf Al – Shalihin’.
Rasulullah saw. bersabda :
و
أنا آمركم بخمس أمرنى الله بهــن : السمع ,والطاعة ,والجهاد , والهجرة ,
والجمــاعة . فإنّ من فارق الجمـاعة قيد سبـر فقد خلع ربقــة اللإ سلام عن
عنـقه
“Aku perintahkan pada kalian semua untuk
melaksanakan lima hal, dimana Allah telah memerintahkan hal itu
padaku, yakni bersedia untuk mendengarkan, taat dan siap untuk
berjihad, melakukan hijrah dan bergabung masuk dalam bingkai Al -
Jamaah. Sesungguhnya seseorang yang berpisah dari jamaah walaupun hanya
sejengkal, berarti sungguh ia telah melepaskan ikatan tali keislamannya
dari lehernya”.
Sayyidina Umar bin Al – Khattab ra berkata :
عليكم بالجماعة وإيكم والفرقة , فان الشيطان مع الواحد وهو مع الاثنـين أبعد ومن أراد بحبوحة الـجِـنّة فليلـزم الجمـاعة
“Berpegang
teguhlah kalian semua pada Al – Jama’ah, hindarkan diri kalian dari
segala bentuk perpecahan, karena sesungguhnya syetan ketika menyertai
anda seorang diri saja, maka dengan sangat mudah ia menaklukkannya
dibanding ketika ia menyertai dua orang yang bersekutu, barang siapa
bermaksud dan ingin mendapat kenikmatan hidup di dalam surga maka
tetaplah bersama Al – Jama’ah".
PASAL
WAJIBNYA TAQLID BAGI SESEORANG YANG TIDAK MEMILIKI KEAHLIAN UNTUK BERIJTIHAD
Menurut
pandangan Jumhuril Ulama setiap orang yang tidak memiliki keahlian
untuk sampai pada tingkat kemampuan sebagai mujtahid mutlak, sekalipun
ia telah mampu menguasai beberapa cabang keilmuan yang dipersyaratkan di
dalam melakukan ijtihad, maka wajib baginya untuk mengikuti (taklid)
pada satu qaul dari para Imam Mujtahid dan mengambil fatwa mereka agar
ia dapat keluar dan terbebaskan dari ikatan beban (Taklif) yang
mewajibkannya untuk mengikuti siapa saja yang ia kehendaki dari salah
satu Imam Mujtahid, sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt :
فاسئلوا اهل الذكر إن كنتم لاتعلمـون
“Maka bertanyalah kalian semua kepada ahli ilmu jika kalian semua tidak mengetahui”
Dengan
berdasar pada ayat ini, seseorang yang tidak mengetahui diwajibkan oleh
Allah Swt. untuk bertanya, Nah bertanya itu merupakan perwujudan sikap
taqlid seseorang kepada orang yang alim. Firman Allah ini berlaku secara
umum untuk semua golongan yang dikhitobi.
Secara umum pula firman
Allah ini, mewajibkan kita untuk bertanya dan mempertanyakan segala
sesuatu yang tidak kita ketahui, sesuai dengan kesepakatan / konsensus
Jumhur al – Ulama. Karena sesungguhnya orang yang beridentitas awam itu
pasti ada sejak zaman generasi sahabat, tabi’in dan hingga zaman
setelahnya, mereka wajib meminta fatwa kepada para mujtahid dan
mengikuti fatwa – fatwa mereka dalam hukum-hukum syari’ah dan
mengimplementasikannya sesuai dengan petunjuk Ulama. Pertanyaan esensial
yang kemudian muncul adalah, mengapa harus mempertanyakan suatu hukum
dan tuntutan syari’at yang tidak diketahui ? Karena sesungguhnya para
ulamapun ketika menerima pertanyaan, mereka seringkali segera menjawab
pertanyaan tersebut to the point tanpa memberi isyaroh untuk menuturkan
dalil, di satu sisi ketika seorang ulama melarang untuk melakukan
sesuatu kepada orang yang awam, merekapun (awam) langsung menerimanya
tanpa mengingkarinya. Kondisi yang sedemikianlah yang lantas disepakati
adanya kewajiban bagi orang awam untuk mengikuti pendapat seorang
mujtahid, disadari pula bahwa sama sekali orang awam itu tidak memiliki
kemampuan dan otoritas untuk memahami Al – Kitab dan Al – Sunnah dan
tentunya pemahamannya tidaklah dapat diterima jika tidak cocok dengan
pemahaman ulama ahli Al – Haq yang agung dan terpilih. Sesungguhnya
orang yang ahli bid’ah dan berperilaku menyimpang, mereka memahami
hukum-hukum secara bathil dari Al – Kitab dan Al – Sunnah, pada
kenyataannya apapun yang diambil oleh ahli bid’ah tidaklah dapat
dipegangi sebagai kebenaran.
Bagi orang awam tidak diwajibkan untuk
tetap eksis / konsisten mengikuti satu madzhab saja dalam menyikapi
setiap masalah baru yang muncul. Walaupun ia telah menetapkan untuk
mengikuti satu madzhab tertentu seperti madzhabnya Imam Al - Syafi’i
ra., tidaklah selamanya ia harus mengikuti madzhab ini, bahkan
diperkenankan baginya untuk pindah pada madzhab yang lain selain Al -
Syafi’i. Seorang awam yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan
pengkajian masalah dan istidlal (melakukan pelacakan / pencarian sumber
dalil) atau ia juga tidak memiliki kemampuan membaca sebuah kitabpun
yang ada sebagai reverensi dalam sebuah madzhab, lantas ia mengatakan
bahwa saya adalah bermadzhab Al-Syafi’i, maka pernyataan yang sedemikian
itu tidaklah absah sebagai pengakuan bilamana hanya sekedar ucapan
belaka.
Tetapi menurut sebuah pendapat yang lain menyatakan bahwa ;
ketika seorang awam itu konsisten mengikuti satu madzhab tertentu maka
wajiblah baginya untuk menetapkan madzhab pilihanya. Karena jelas
seorang ‘Awam itu meyakini bahwa madzhab yang ia pilih adalah madzhab
yang benar. Maka konsekwensi yang harus ia terima adalah wajib
menjalankan apa yang menjadi ketentuan madzhab yang ia yakini.
Bagi
seseorang yang taqlid (مقلّد) boleh mengikuti selain imamnya dalam
sebuah masalah yang timbul padanya. Misalnya saja ia taqlid pada satu
imam dalam melaksanakan shalat dhuhur, dan ia taqlid dan mengikuti imam
lain dalam melaksanakan shalat ashar. Jadi taqlid setelah selesainya
melakukan sebuah amal/ ibadah adalah boleh. Untuk memahami hal ini
dapatlah digambarkan sebuah masalah : “Bila seorang yang bermadzhab
syafii melakukan shalat dan ia menyangka (ظن)atas keabsahan shalatnya
menurut pandangan madzhabnya, ternyata kemudian menjadi jelas bahwa
shalatnya adalah batal menurut madzhab yang dianutnya, dan sah bila
menurut pendapat yang lain maka baginya boleh langsung taqlid pada
madzhab lain yang mengesahkan shalatnya. Dengan demikian cukup
terpenuhilah kewajiban shalatnya.
PASAL
SIKAP
EKSTRA HATI-HATI DIDALAM MENGAMBIL AGAMA DAN KEILMUAN, JUGA SIKAP
ANTISIPATIF TERHADAP FITNAH YANG DIMUNCULKAN OLEH PARA AHLI BID’AH,
ORANG-ORANG MUNAFIQ DAN PARA PEMIMPIN YANG MENJERUMUSKAN.
Wajib
bersikap ekstra hati-hati didalam mencari dan menghasilkan keilmuan,
maka janganlah anda mencari dan mendapatkannya dari selain ahli ilmu.
روى
ابن عساكر وعن الامام مالك رضى الله عنـه: لاتحمل العلم عن اهل البدع ولا
تحمله عمن لايعرف بالطلب ,ولاعمن يكذب فى حديث الناس وان كان لايكــذب فى
حديث رسول الله صلى الله عليه وسلّم
Diriwayatkan dari Imam Ibnu
Asakir dari Imam Malik Ra : “Janganlah engkau menerima ilmu dari
ahli bidah, jangan pula anda mencari dan menerima keilmuan (agama) dari
seseorang yang tidak diketahui kepada siapa ia belajar, dan tidaklah
pula diperkenankan menerimanya dari seseorang yang melakukan kebohongan
publik didalam menceritakan manusia, walaupun ia diyakini tidak akan
melakukan kebohongan terhadap hadits Rasulullah SAW”.
وروى ابن
سيرين رحمه الله : هذا العلم دين,
فانظروا عمّن تأخذون
دينكم
Diriwayatkan
lagi dari Imam Ibnu Sirrin Ra : “Ilmu ini adalah agama ;maka
selektiflah kalian semua dari siapa kalian mengambil agama.” وروى
الديلمى عن ابى عمررضى الله عنهما مرفوعا : العلم ديـن , والصّلاة
ديـن , فانظروا عمن تأخــــذون هذا العلم , وكيف تصلون هذه فإنكم
تسألون يوم القيامة , فلا ترووه الا عمن تحققت أهلّيــته بأن يكون
من العدول الثقــات
المتّقـــين
Diriwayatkan
oleh Imam Al - Dailami dari Ibnu Umar ra. dalam sebuah periwayatan yang
marfu’ : "Ilmu adalah agama dan shalat adalah agama. Maka bersikap
telitilah kalian semua didalam mengambil/menerima ilmu itu. Bagaimana
anda melakukan shalat seperti ini? Sesungguhnya kalian semua akan
ditanya nanti dihari kiamat, maka janganlah anda meriwayatkan keilmuan
itu kecuali dari seseorang yang benar-benar anda meyakini keahliannya
yakni ia yang memiliki sifat-sifat keadilan, dapat dipercaya dan
muttaqien".
وروى مسلم فى صحيــحه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم
قال : سيكون فى اخر أمتى أناس يحـدثوكم ما لم تسمعوا انتم ولاابآئكم
فاياكم واياهم
Imam muslim meriwayatkan didalam kitab
shahih-nya bahwa Rasulullah SAW bersabda :“Akan ditemukan dizaman akhir
dari umatku sekelompok manusia yang senantiasa menceritakan kepada
kalian segala sesuatu yang mereka tidak pernah mendengarkannya, kamu dan
juga orang-orang tua kalian, maka jagalah diri kalian semua, dan
waspadailah mereka”.
وفى صحيح مسلم أيضا أن أبا هر يرة رضى الله عنه
يقول : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يكون فى أخر الزمان
دجالون كذبون يأتونكم من الاحاديث بما لم تسـمعوا انتم ولااباؤكم
فإياكم
wassalamualaikum wr.wb
penerjemah : Tahrir, Lc